(Sumber : Dari majalah Intisari)
Mamasa, sebuah kawasan di Kabupaten Polmas (Polewali - Mamasa), Sulawesi Selatan, menyimpan setumpuk potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Alam indah di ketinggian 600- 1.000 m, hutan perawan dengan air terjun dan beberapa mata air panas, juga latar belakang mistis masyarakatnya.
Bagi sementara orang, kawasan Mamasa masih dianggap identik dengan hal-hal primitif. Bahkan acapkali terkesan lebih dari itu: orang Mamasa terkenal dengan ilmu-ilmu magis dan kesaktiannya. Kerbau mati yang sudah dikuliti bisa dibangunkan dan disuruh berjalan.
Bahkan di masa lalu, mayat manusia perantaupun bisa disuruh berjalan pulang ke kampung halaman. Inilah buah cerita yang masih terngiang hingga sekarang, baik di luar ataupun di dalam masyarakat Mamasa sendiri. (Sebagai catatan, yang dimaksud dengan kawasan Mamasa itu meliputi empat kecamatan: Pana, Sumarorong, Mambi dan Mamasa).
Tak seberapa mudah melacak kebenaran cerita tentang mayat berjalan ini. Di kawasan Mamasa sendiri, cerita semacam itu hanya diomongkan tanpa pernah didokumentasikan. Sama halnya dengan cerita tentang asal usul nenek moyang masyarakat Mamasa, misalnya, hanya tergali lewat tuturan dari mulut ke mulut tanpa bukti tertulis. Betapapun, semuanya diyakini masyarakat Mamasa sebagai sumber yang dianggap benar: Sesepuh masyarakat menuturkan segala latar belakang masyarakat Mamasa dengan merujuk catatan buatannya sendiri, itu pun hasil tanya sana-sini ditambah cerita dari ayah dan kakeknya dulu. Begitu pula naskah Mamasa (Kondosapata Waisapalelean)
Dalam Informasi Sejarah, Budaya, dan Pariwisata karya Arianus Mandadung (1982), merujuk pada informasi lisan secara turun-temurun dilengkapi sejumlah catatan milik ayahnya yang dulunya aparat kecamatan.
Cerita tentang mayat berjalan, memang diakui benar adanya. Kepakaran orang Mamasa dalam ilmu menjalankan mayat bisa ditarik jauh ke belakang, ketika sarana pengangkutan belum ada, hutan-hutan di sepanjang Polewali - Mamasa sejauh 92 km hanya bisa dibelah sambil berjalan kaki.
Ketika itulah orang Mamasa sudah merantau, dalam kelompok. Tak cuma berbekal makanan, minuman, kondisi fisik dan mental yang prima saja, melainkan juga ilmu dalam. Begitulah, siapa pun yang berani merantau ke negeri orang ketika itu, pastilah dia orang berilmu. Bekal khusus ini bukan hanya untuk menangkal segala bahaya, tapi juga diterapkan ketika yang bersangkutan menemui masalah. Bila salah seorang dari kelompok perantau itu meninggal, sesuai dengan kebiasaan, jenazahnya harus dikuburkan di tanah kelahirannya. Namun, sarana angkutan tidak ada. Kalaupun dipikul juga terlalu berat, lantaran jarak tempuh terlalu jauh. Dengan ilmunya, perantau mampu me-nyuruh mayat kawannya tersebut untuk berjalan sendiri, kembali ke kampung halaman, sementara si empunya ilmu berjalan mengiringinya dibelakang. Mayat itu akan berjalan tegak, tapi sendi-sendi kaki dan tangannya mati. Ekspresinya pun tidak ada. Kira-kira mirip robot berjalan. Sementara itu ada pantangan yang mesti dihindari agar tidak repot. Mayat itu tidak boleh ditegur, jadi lebih baik si pengiring mayat menghindari keramaian atau pertemuan dengan orang-orang. Maka sudah dimaklumi banyak orang di sekitar Mamasa, agar tak menegur jika bertemu mayat berjalan macam ini. Konon, jika ditegur, daya hipnotis yang membuat mayat mampu berjalan itu lenyap dan mayat terkulai roboh, sehingga perlu waktu untuk menjalankannya lagi.
Kejadian semacam itu bisa dikatakan tak ada lagi di masa-masa sekarang. Sedikit yang masih tersisa sampai sekarang adalah kemampuan memerintahkan ternak potong yang sudah mati untuk berjalan.
Kerbau dan babi yang mau disembelih, dikasih makan dulu oleh si orang pandai. Setelah mati, makhluk ini berdiri dan jalan hanya dengan satu tepukan. Kejadiannya Cuma terjadi selama beberapa menit. Kemudian, dengan satu tepukan tangan pula, binatang itu terjatuh dan siap dipotong-potong.
Begitu pula kejadian di tempat lain. Ketika hewan kurban pesta kematian dibagikan, salah seekor di antaranya berdiri dan berlari ke tempat tersembunyi. Orang dengan mudah menyimpulkan, ini pasti buah kerja seseorang yang menginginkan pembagian lebih. Kejadian semacam tadi masih terjadi sesekali. Malah ada kalanya jadi atraksi yang ditonton para pelayat, bukti bahwa kegiatan begini makin lama makin langka. Sama halnya dengan orang yang punya kemampuan menjalankan mayat. Di Mamasa sekarang tinggal segelintir saja.
Jauh sebelum Polewali-Mamasa dihubungkan dengan jalan sempit beraspal kelas rendah seperti sekarang, Mamasa adaiah daerah terpisah, menyendiri di ketinggian. Di bagian utara membentang Pegunungan Quarles yang memisahkan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, di timur berbatasan dengan Tana Toraja dan Kabupaten Luwu, sedangkan di tenggara Pinrang serta Enrekang. Jarak dari Kota Ujungpandang mencapai 340 km, dengan luas 7.506 km2 (3/4 bagian Kabupaten Polmas yang 9.985 km2). Jika ditarik garis sejajar, Mamasa berdekatan dan punya banyak kesamaan dengan Tana Toraja. Baik etnis, gaya, kebiasaan, upacara, agama mayoritas warga, dan lain lainnya. Kawasan Mamasa memang lazim dikenal terutama oleh wisatawan mancanegara dengan sebutan West Toraja atau Toraja Barat.
Dulu, beberapa abad setelah terjadi perpindahan penduduk dari Hindia Belakang (proto Melayu), sebelum daerah Sulawesi Selatan dilanda banjir besar, menikahlah dua orang pendatang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Mamasa. Masing-masing Tandayan Langi dan Kombbang-dipura'wai. Dan perkawinan ini lahirlah tujuh anak, masing-masing Bobolangi, Sulo Ailo, Patarengan Manuk, Pongkapadang, Lemben Susu, Landoguntu, dan Mangguana. Mereka kawin-mawin satu dengan yang lain, menurunkan beberapa anak. Yang paling dominan adalah keturunan Pongkapadang, yakni Polapadang dan Tamalilin. Tamalilin meninggal, dan Polapadang bertemu dengan Terijene (orang dari air). Keduanya kawin, menurunkan tujuh anak. Ini pun juga saling kawin satu sama lain, lantas menyebar di sekitar Mamasa, yang waktu itu masih bernama Kondosapata (sawah luas yang terdiri dari satu pematang).
Awal abad ke-19, Belanda masuk. Kondosapata' dipecah menjadi tiga bagian, masing-masing dipimpin seorang Hulp Bestuursambtenaar, yang terdiri dari 17 distrik dan tergabung dalam Onder-afdeling Boven Binuang en Pitu Ulunna Salu (dipimpin seorang Controleur yang berkedudukan di Mamasa) di bawah naungan Afdeling Mandar. Dengan begitu, tujuh wilayah adat yang sebelumnya sudah ada (Tabulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Rantebulahan, Matangnga, dan Tabang), tidak diakui.
Tahun 1949, ketika terbentuk pemerintahan negara serikat, Indonesia bagian timur pun menjadi satu serikat. Mamasa (Kondosapata) dibentuk menjadi NeoSwapraja, dipimpin Dewan Pemerintahan Swapraja yang disebut Tongkonan Ada (Self Bestuur).
Setahun kemudian, ketika Negara Serikat Kesatuan RI terbentuk, Kawedanan Mamasa masuk ke dalam Daerah Swatantra Tingkat II Mandar (meliputi Majene, Mamuju, Polewali, dan Mamasa). Tahun 1959, sesuai Undang-undang No. 29/1959, Daerah Swatantra Tingkat II Mandar dibagi menjadi tiga kabupaten, masing-masing Majene, Mamuju, dan Polmas(Polewali - Mamasa). Tahun 1967, ditunjuklah seorang wakil bupati di Mamasa, lengkap dengan kantor dan rumah dinasnya. Sampai sekarang, Kabupaten Polmas terdiri atas 25 desa dan 4 kecamatan, dengan jumlah penduduk sekitar 85.000 jiwa.
Ketika TNI di Sulawesi Selatan terpecah menjadi beberapa kekuatan, rakyat Mamasa pun ikut terlibat. Gerombolan Andi Selle dari Batalyon 710 menyerbu rumah-rumah penduduk, rakyat Mamasa melawan. Muncul seorang guru SD bernama Paulus Sila'ba sebagai penggalang kekuatan. Kericuhan surut sejalan dengan majunya kesadaran bersatu. Warga Mamasa pun tenang kembali, mengupayakan nasib agar lebih baik. Tapi tetap saja, wilayah pegunungan tak menguntungkan. Dana dan proyek bantuan datang tersendat-sendat, kalau tidak berhenti di Polewali. Bertahun-tahun lama-nya perjalanan ke Polewali harus ditempuh 3 - 4 hari lantaran tak terjangkau kendaraan, atau badan jalan putus karena tanah longsor. Barulah pada tahun 1988 kendaraan bermotor bisa rnasuk lewat jalur ini. Perlahan tapi pasti, Mamasa rnenemukan masa depannya.
Dalam anggapan tentang kematian, orang Mamasa sama dengan orang Tana Toraja, sebab pada dasarnya juga masyarakat Mamasa mayoritas terdiri dari suku Toraja. Kematian adalah pesta, penguburan harus diiringi dengan penyembelihan ternak yang dibagi-bagikan kepada warga lain. Kepercayaan ini sudah ada sejak dulu, ketika orang masih meyakini Aluk Mappurondo (ajaran lisan) dan Aluk Todollo (kepercayaan nenek moyang), bahkan masih mewarnai kegiatan di masa sekarang, sekalipun mayoritas warga sudah beragama Kristen. Mayat disimpan, didoakan, diiringi pemotongan hewan, dibawa ke tempat pemakaman. Semuanya adalah rangkaian pesta, yang terkadang menghabiskan uang puluhan juta rupiah.
Sama dengan masyarakat Tana Toraja, orang Mamasa masa lalu tidak mengenal tanah galian untuk makam. Mayat cukup dibungkus dan dimasukkan ke dalam peti gelondongan kayu berbentuk perahu, atau tedong-tedong (kayu gelondong dibentuk menyerupai kerbau). Kemudian ditempatkan di dalam gua-gua alam (liang toipadan), gua buatan (liang lokko), atau diletakkan begitu saja di tempat terbuka.
Tak berbeda dengan makam di Tana Toraja yang sangat dikenal sebagai obyek turisme, makam-makam di Mamasa pun "dijual" sebagai obyek wisata. Makam Tedong-tedong Minanga di Desa Balla, misalnya, yang menurut prakiraan peneliti berusia lebih dari 400 tahun.
Kompleks bukit kecil yang sekarang dikelola Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan itu direnovasi untuk maksud tersebut. Bukan hanya makamnya sendiri yang membutuhkan 123 kubik batu, 450 sak semen, 90 kubik pasir, dan 30 kubik kerikil, tapi juga jalan berliku dari gerbang Penak bikinan proyek ABRI Masuk Desa menuju lokasi sejauh 1,8 km. Dulu hanya jalan setapak selebar tak lebih dari 50 cm, sekarang sudah 3,5 m.
Bangunan berukuran 6 x 15 m di atas landasan seluas 8,5 x 15 m yang berisi 18 gelondongan kayu berbentuk kerbau dan perahu itu telah menjadi bagian potensi wisata kawasan Mamasa.
Rumah adat berukuran besar pun ada dua, yakni di Rantebuda (sekitar 3 km di sebelah utara Ibu kota Kecamatan Mamasa) dan di Orobua (berjarak sekitar 8 km), yang sudah ditempati sejak 10 generasi lalu.
Rumah adat Rambusaratu di Rantebuda misalnya, berukuran sekitar 5 x 20 m, jauh lebih besar daripada rumah-rumah adat di Tana Toraja sekalipun. "Rumah adat di Rantebuda itu mungkin rumah adat Toraja terbesar yang pernah ada,"
Rumah Mamasa agak beda dengan rumah Toraja, meski secara umum intinya sama: mengambil bentuk sebuah kapal atau perahu. Rumah Mamasa umumnya menghadap berlawanan dengan arus air (sungai Mamasa membelah kota menjadi dua bagian), karena dari arah itulah berkah datang.
Atap yang menonjol di bagian depan dan belakang disebut longa banna, dan badan rumah terdiri dari bagian-bagian: ba'a (untuk tamu), tambing (kamar tidur pemilik rumah atau wanita dewasa yang belum menikah), lombon (dapur, ruang makan, dan pusat upacara). Ukurannya bermacam-macam. Dari rumah satu kamar (banna salanta') sampai 4 kamar (appa' lanta), biasanya ditentukan status sosial dan tingkat keningratan pemiliknya. Objek lain yang tak kurang menarik adalah air terjun alam. Air terjun Mambulilling di Gunung Mambulilling mi¬salnya, biasa dijangkau turis dengan setengah hari berjalan kaki pulang-pergi. Air terjun Sumbabo yang tingginya 400 m, berjarak sekitar 30 km dari Mamasa, dan air terjun Podamasa yang berjarak 3 km
dari Sumbabo. Mata air panas alam bertebar di tiga tempat, masing-masing Kola (2,5 km di utara Mamasa), Buntukasisi dan Rantekatoan (di selatan).
Namun tak sedikit wisatawan mancanegara yang memilih paket tracking (jalan kaki) mengelilingi Mamasa guna mengunjungi sejumlah objek wisata sembari menikmati panorama alam yang indah. Waktu tempuh dan jarak bervariasi, mulai yang tiga jam hingga satu minggu.