Musik bukan masalah penting, mungkin begitu anggapan masyarakat kita.
Oleh sebab itu kerap terjadi penggunaan musik secara sembarangan.
Misalnya saja apa yang saya alami ketika menghadiri suatu upacara pernikahan di Semarang, yang kebetulan diselenggarakan dalam gaya tradisi budaya Barat.
Pada saat pasangan mempelai bergaya tradisi Barat melangkah masuk ke ruangan pesta, mendadak para pemain musik semarak mengalunkan lagu Marche Funebre petilan dari Sonata Frederik Chopin untuk pianoforte.
Misalnya saja apa yang saya alami ketika menghadiri suatu upacara pernikahan di Semarang, yang kebetulan diselenggarakan dalam gaya tradisi budaya Barat.
Pada saat pasangan mempelai bergaya tradisi Barat melangkah masuk ke ruangan pesta, mendadak para pemain musik semarak mengalunkan lagu Marche Funebre petilan dari Sonata Frederik Chopin untuk pianoforte.
Padahal, dari judul maupun iramanya saja, sudah jelas tepat jika musik itu diperdengarkan untuk mengiringi derap-langkah barisan pengantar jenazah yang dimakamkan di kuburan.
Lain lagi pengalaman saya ketika menghadiri suatu upacara keagamaan di sebuah gereja di Jakarta. Saya sempat tergugah dari rasa kantuk akibat mendadak mendengar paduan suara gereja merdu mengalunkan syair pujian-pujian rohani bagi Yang Maha Kuasa, tapi dengan melodi lagu Plaisir d'amour, yang kebetulan sebuah lagu asmara yang lazim didendangkan di kawasan bordil-bordil di Eropa. Penampilan musik seperti itu mirip kurang-senonohnya dengan mengajar para murid di Taman Kanak-kanak untuk berdendang lagu Je t'aime lengkap dengan desah-desahnya.
Hal yang mirip terjadi pula ketika salah satu stasiun teve menayangkan kisah hidup Gesang, komponis kebanggaan Nusantara dengan keharuman nama yang telah melanglang buana. Sayang sekali, iringan ilustasi musiknya bukan gubahan Gesang sendiri, tapi malah mengimpor nun jauh dari Prancis sana, yakni karya Maurice Ravel yang berjudul Bolero. Perlu diketahui saja, karya ini telanjur populer sebagai musik bersuasana erotik akibat iramanya tendensius konotatif seksual.
Yang menggelikan lagi, ada tradisi khas kaum penggemar dansa gaya Barat yang hanya ada di Indonesia. Pada saat pembukaan, mereka rapi berbaris diiringi alunan musik lalu bersama mengelilingi arena dansa dengan sebutan Polonaise, padahal tidak ada kaitan sama sekali dengan suasana musik dansa Polandia. Sebab, iramanya sama sekali bukan khas Polonaise yang berderap konsisten pada birama 3/4, tetapi cenderung lagu berirama mars yang berkisar pada 2/4 atau 4/4 belaka.
Saya sendiri sempat dikritik seorang rekan pemusik yang kebetulan asli berasal dari wilayah Indonesia Timur. Pasalnya, pada suatu konser saya telanjur mengalunkan lagu 0 Ina Ni Keke dalam suasana lembut, romantis, bahkan melankolis. Enggak tahunya, lagu itu apabila disesuaikan dengan teksnya, sebenarnya lebih tepat apabila ditampilkan dalam suasana jenaka di saat dua insan mesra bercumbu-rayu dengan saling menggoda.
Namun, dosa saya itu tidak separah seorang produser film budaya Negeri Belanda yang memproduksi sebuah film-budaya tentang Aceh yang cukup informatif. Alih-alih mau membuat bagus, musik latar belakangnya malah jadi nilai minus. Soalnya, yang dipakai justru musik gamelan tradisional Jawa Tengah, yang kalau tidak salah dipergelarkan oleh orkes karawitan RRI Surakarta.
Lain lagi yang dialami Gus Dur. Di tengah pertemuan silaturahmi mendukung perdamaian antar umat beragama yang saling bertikai sampai pertumpahan darah di Ambon, Gus Dur pernah serba salah akibat tampilnya sebuah paduan suara anak-anak merdu mengalunkan lagu Shalawat Badar sebagai selingan. Indah memang, tapi lagu itu isinya memuja kejayaan laskar muslim di medan perang. Waduh, mau damai atau perang sih !