Salah satu karya masakan berasal dari budaya Cina yang cukup populer di Indonesia, bahan ramuan utamanya disebut "kodok".
Maka di menu berbagai rumah makan dari yang mewah sampai layar warung kaki lima, semarak ditawarkan aneka hidangan bergelar menarik seperti Kodok Goreng, Kodok Kuah jahe, Kodok Asam Manis, Kodok Goreng Lapis Tepung, Oseng-oseng Kodok, Kodok Saus Tirem, Sate Kodok, Perkedel Kodok dan lain sebagainya. Masakan kodok itu cukup digemari akibat dagingnya memang putih bersih, lezat plus empuk untuk dikunyah. Namun, sebenarnya sebutan kodok itu keliru !
Bahan utama hidangan khas yang disajikan itu memang termasuk jenis amfibia, tetapi sebenarnya bukan kodok, melainkan "katak". Menurut kaidah akademis Biologi, meskipun sesama amfibia, katak (Ranidae) sebenarnya tidak sama dengan kodok (Bufonidae).
Kodok memiliki kaki belakang relatif lebih pendek, postur lebih gembung, kulit lebih berkutil ketimbang katak. Tidak lazim bahkan kurang layak dimakan manusia, akibat kulitnya mengandung zat beracun. Sementara yang lebih aman, maka digemari terutama bagian paha sebagai makanan manusia adalah beberapa jenis katak seperti katak hijau, katak lembu, atau katak batu, tetapi, secara gastronomis, nama "kodok" telanjur kaprah digunakan masyarakat umum, ketimbang "katak" yang lebih benar.
Dalam salah satu dialek bahasa Cina, masakan kodok, eh katak maksudnya, disebut swie-kee, yang di dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti "ayam-air", akibat daging katak memang putih bersih dan lezat mirip daging ayam.
Berbicara masalah daging, masyarakat di Jawa Tengah sering mengganti istilah "daging" menjadi "ikan", yang berasal dari bahasa daerah setempat yaitu iwak. Maka muncul istilah aneh-aneh yang menggelikan seperti ikan-ayam, ikan-sapi, ikan-kelinci yang tentu tidak tercatat di buku pelajaran ilmu Hayat manapun juga. Sayang, tidak konsekuen dan konsisten, karena daging-ikan tidak pernah disebut sebagai ikan-ikan, he he he.
Sebenarnya istilah "hot-dog" juga tidak kalah aneh, karena pada kenyataannya bahan makanan populer berasal dari Amerika itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan ikan ... eh, daging anjing, apalagi yang panas atau pedas.
Istilah "hamburger" semula tak dikenal di Jerman di mana kota pelabuhan termasyhur Hamburg berada. Di sana hamburger disebut: bullete atau frikadelle alias perkedel. Maklum saja, istilah itu berasal dari istilah fastfood Amerika Serikat. Namun juga tidak ada kaitannya dengan delapan kota bernama Hamburg di wilayah USA (di Arkansas, Connecticut, Illinois, Iowa, Michigan, New Jersey, New York, dan Pennsylvania). Yang jelas, di Amerika Serikat malah ada Hamburger University yang dikelola perusahaan waralaba warung makan siap saji McDonald's.
Sejenis sosis berbahan daging sapi di Kota Frankfurt, Jerman, disebut sebagai Wiener, sebaliknya di Kota Wien (Wina), Austria, jenis sosis yang persis sama (hanya mungkin beda ukuran) malah disebut sebagai Frankfurter!. Mirip nasib sate madura yang jauh lebih terkenal dan berkembang luas di Pulau Jawa, ketimbang di Pulau Madura sendiri !
Bahan utama hidangan khas yang disajikan itu memang termasuk jenis amfibia, tetapi sebenarnya bukan kodok, melainkan "katak". Menurut kaidah akademis Biologi, meskipun sesama amfibia, katak (Ranidae) sebenarnya tidak sama dengan kodok (Bufonidae).
Kodok memiliki kaki belakang relatif lebih pendek, postur lebih gembung, kulit lebih berkutil ketimbang katak. Tidak lazim bahkan kurang layak dimakan manusia, akibat kulitnya mengandung zat beracun. Sementara yang lebih aman, maka digemari terutama bagian paha sebagai makanan manusia adalah beberapa jenis katak seperti katak hijau, katak lembu, atau katak batu, tetapi, secara gastronomis, nama "kodok" telanjur kaprah digunakan masyarakat umum, ketimbang "katak" yang lebih benar.
Dalam salah satu dialek bahasa Cina, masakan kodok, eh katak maksudnya, disebut swie-kee, yang di dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti "ayam-air", akibat daging katak memang putih bersih dan lezat mirip daging ayam.
Berbicara masalah daging, masyarakat di Jawa Tengah sering mengganti istilah "daging" menjadi "ikan", yang berasal dari bahasa daerah setempat yaitu iwak. Maka muncul istilah aneh-aneh yang menggelikan seperti ikan-ayam, ikan-sapi, ikan-kelinci yang tentu tidak tercatat di buku pelajaran ilmu Hayat manapun juga. Sayang, tidak konsekuen dan konsisten, karena daging-ikan tidak pernah disebut sebagai ikan-ikan, he he he.
Sebenarnya istilah "hot-dog" juga tidak kalah aneh, karena pada kenyataannya bahan makanan populer berasal dari Amerika itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan ikan ... eh, daging anjing, apalagi yang panas atau pedas.
Istilah "hamburger" semula tak dikenal di Jerman di mana kota pelabuhan termasyhur Hamburg berada. Di sana hamburger disebut: bullete atau frikadelle alias perkedel. Maklum saja, istilah itu berasal dari istilah fastfood Amerika Serikat. Namun juga tidak ada kaitannya dengan delapan kota bernama Hamburg di wilayah USA (di Arkansas, Connecticut, Illinois, Iowa, Michigan, New Jersey, New York, dan Pennsylvania). Yang jelas, di Amerika Serikat malah ada Hamburger University yang dikelola perusahaan waralaba warung makan siap saji McDonald's.
Sejenis sosis berbahan daging sapi di Kota Frankfurt, Jerman, disebut sebagai Wiener, sebaliknya di Kota Wien (Wina), Austria, jenis sosis yang persis sama (hanya mungkin beda ukuran) malah disebut sebagai Frankfurter!. Mirip nasib sate madura yang jauh lebih terkenal dan berkembang luas di Pulau Jawa, ketimbang di Pulau Madura sendiri !