Selasa, 11 Desember 2012

Mitos Nyai Roro Kidul

(Sumber dari majalah Intisari)

Banyak sudah cerita dan kisah Nyai Roro Kidul ditulis dan dibeberkan orang. Sejak zaman dulu hingga kini mitosnya masih sering dikaji dan diteliti. Benar-benar adakah ratu cantik penguasa laut selatan itu?
B. Scelist dari Yogya dibantu Djati Surendro menyodorkan beberapa pandangan tentang persepsi dan kenyataannya.

Suatu ketika laut selatan Pulau Jawa oleng, menggelegak macam air panas di kuali. Kemilau air laut yang biru, mendadak keruh berbuih mendidih, terguncang gempa. Ikan-ikan berlompatan mati kepanasan. Para jin, setan periperayangan, risau menyaksikan perubahan gejala aneh di segoro kidul (laut selatan), karena gemuruh topan itu terasa panas-dingin tak menentu sampai menembus dasar laut diantar angin tujuh keliling. Nyai Roro Kidul, ratu dedemit di dasar samudera, itu pun tersentak kaget. Selama ribuan tahun hidup, baru kali ini melihat perubahan alam yang aneh di istananya. Apa gerangan yang terjadi? Segera Nyai Roro Kidul melesat ke luar dan berdiri di atas air laut memandang bumi. Dunia terang-benderang, tak ada apa-apa. Cuma di tepi laut itu memang ada seorang lelaki berdiri bersedekap mengheningkan cipta. Diakah penyebabnya?
Nyai Roro Kidul terdiam sejenak. Diamat-amatinya lelaki yang berdiri semadi itu, dan betapa kaget sete-lah tahu dia adalah Panembahan Senopati. Tak salah, tak silap memang dia penyebab prahara laut selatan.
Gemuruh ombak laut panas semakin tak tertahankan, sampai menciptakan bergunung-gunung gelombang. Menyadari kesaktian Panembahan Senopati, Nyai Roro Kidul diiringi sekalian makhluk halus mendekat dan menyembah seraya memohon belas kasihan, agar sang panembahan menghentikan tapa bratanya. Sebagai balasannya, Roro Kidul bersedia memenuhi permintaan Senopati yang ingin menjadi raja sampai ke anak cucunya.
Bahkan penguasa samudera selatan itu pun berjanji akan membantu apa saja demi kejayaan pemerintahan Senopati, termasuk kelak kalau bumi Mataram kedatangan musuh, makhluk-makhluk halus laskar Ratu Kidul siap membereskannya. "Saya akan segera mengirimkan setan-setan berikut genderang perang", kata Nyai Roro Kidul berjanji. Seketika gemuruh air laut hilang. Tak ada badai tak ada gelombang, bahkan ikan-ikan dan semua makhluk laut yang mati hidup kembali.
Singkatnya, Panembahan Senopati terpikat, lalu jatuh cinta. Mereka berdua berjalan di atas laut menuju istana. Konon, keindahan istana itu tak ada tandingannya di dunia. Pagar kelilingnya saja terbuat dari bata emas, penuh dengan tanaman serta bunga dan buah dari berbagai jenis ratna mutu manikam.
Dihadap oleh sekalian jin, setan, Senopati dan Nyai Roro Kidul duduk di balai-balai tempat bersantai. Di sinilah setiap hari Panembahan Senopati menerima berbagai pelajaran: ketatanegaraan, ilmu menjadi raja, memerintah manusia serta jin dan peri, berikut taktik berperang sampai ke percintaan. Selama tiga hari tiga malam, mereka berkasih-kasihan layaknya suami istri.
Semua ilmu pemberian Nyai Roro Kidul, menjadi bekal bagi Senopati untuk hadir sebagai raja sakti, bi-jaksana, penguasa tanah Jawa yang tiada duanya. Setelah dirasa cukup, Senopati mohon diri kembali ke bumi. Namun sebelumnya ia sempat bertanya, bagaimana caranya memanggil sang ratu jika suatu saat Mataram kedatangan musuh? Ratu penguasa laut selatan itu tersenyum, menjawab, "Bersedekaplah dengan berdiri suku tunggal memandang langit, aku dan sekalian tentaraku akan segera datang membawa kemenangan."
Mitos Nyai Roro Kidul sebagaimana tersurat dalam Babad Tanah Jawi itu sampai sekarang masih ada. Kemasyhurannya bergema hingga terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang. Sudah lama mitos ini dikaji dan diteliti oleh para ahli, namun semua itu tak sanggup mengubah pandangan masyarakat Jawa akan eksistensi tokoh yang dianggapnya betul-betul ada.
Babad Tanah Jawi karya gabungan sejarah dan dongeng, memang bukan satu satunya sumber tentang Nyai Roro Kidul. Namun dari karya tanpa nama inilah, kisah ratu dedemit laut selatan muncul menjadi bagian dan cerita rakyat Indonesia, bukan Jawa saja.
Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari tulisan serat Babad Tanah Jawi. Tapi entah kenapa beredar dan terkenal dengan nama salah baca, Kanjeng Ratu Kidul. Bahkan ada perbedaan persepsi yang meluas dan diyakini, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul itu berbeda.  Artinya,Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu Kidul itu ratunya. Cuma Babad Tanah Jawi tak menyebutkan itu.
Kisah gaib rakyat jelata ini pun lantas berkembang menjadi kisah sakral yang menuntut pertanggungjawaban religi yang sifatnya abadi. Ya, abadi karena sesuai janji, Roro Kidul akan selalu berhubungan dengan seluruh raja Jawa keturunan Panembahan Senopati hingga kini.
Maka selama kerajaan Mataram ada, tokoh penguasa demit Pulau Jawa ini akan tetap disembah untuk dimintai berkah. Jadi ratu makhluk halus yang mendirikan bulu roma ini, sesungguhnya tidak memiliki watak jahat, bahkan sebaliknya berhati mulia karena dipercaya menjaga ketenteraman keraton dan rakyat Mataram hingga sekarang.
Memang tak salah kalau cerita besar ini kemudian disebarluaskan lewat media bacaan bergambar yang komiknya laku keras di sekitar tahun 60-an. Justru komik inilah yang menarik, mengingat penyajian katanya singkat dan padat, sementara gambarnya sanggup menghanyutkan daya fantasi pembaca untuk membayangkan kecantikan rupa Nyai Roro Kidul, serta kebrutalan jin, setan laknat penjaga laut selatan. Layar perak film nasional pun tak pernah sepi dari cerita-cerita berbau mistis tentang Nyai Roro Kidul dengan serentet judul yang seram plus bumbu seks.
Yang jelas ratu sakti yang rupawan ini sudah menjadi salah satu isi khazanah kisah klasik di Indonesia. Bahkan nampak semakin sakral, karena seringnya diperingati dalam bentuk upacara labuhan atau terpentaskan dalam teater tertutup berbentuk seni tari bedaya ketawang dan bedaya semang. Wajar kalau kemudian mitos Nyai Roro Kidul melebihi kisah Babad Tanah Jawi dan kebesaran Kerajaan Mataram sendiri.
Lihat saja setahun sekali, Keraton Yogyakarta pasti melakukan upacara tradisi labuhan di Parangkusuma. Labuhan itu, persembahan sesaji yang ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Tradisi ini dilakukan bukan sekadar gengsi keraton atau untuk kepentingan wisatawan, melainkan demi keselamatan raja, keraton dan seluruh rakyatnya.

 Ambil contoh, Sri Paku Buwono XII dari keraton Solo, di penghujung tahun 1985 melakukan labuhan guna keselamatan rakyat dan keraton setelah mengalami musibah kebakaran. Untuk menciptakan keserasian hubungan dengan Ratu laut selatan, Kasunanan Surakarta membangun panggung Sanggabuwana sebagai tempat pertemuan mereka berdua. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta memiliki sumur gemuling, terowongan bawah tanah di Tamansari Keraton Yogya yang konon tembus sampai menuju laut selatan sebagai tempat hubungan mistis antara Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Tapi hubungan cinta antara raja dan ratu ini, oleh Sejarawan Edi Sedyawati diartikan sebagai hubungan yang bersifat adikodrati bukan hubungan seksual duniawi. "Karena itu", tulis Edi dalam Prisma no. 7, Juli 1991, "hubungan mereka tak pemah membuahkan anak."
Menyinggung hubungan seksual, sejarawan IKIP Sanata Dharma Yogya, Suhardjo Hatmosuprobo, menyatakan, hubungan suami-istri Raja Jawa dan Ratu Kidul itu hanya berlaku sebelum Perjanjian Gianti 1755. Sesudah Mataram pecah terbagi dua, masing-masing raja Yogya dan Surakarta sama-sama menganggap Kanjeng Ratu sebagai eyang, bukan istri. "Soalnya, kalau tidak begitu Kanjeng Ratu Kidul itu namanya poliandri," katanya.
Apa pun komentar ahli, persepsi  masyarakat Jawa tetaplah tak bergeming dari dulu hingga kini. Semua raja Jawa bisa berkomunikasi dengan Ratu Kidul. Tak percaya Sekadar contoh baca saja Tahta Untuk Rakyat hlm. 103. Jelas sekali almarhum Hamengku Buwono IX mengisah kan pengalamannya bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul setelah menjalankan laku puasa. Katanya, ketika bulan naik, Kanjeng Ratu ini terlihat cantik sekali. Sebaliknya, saat bulan menurun dia nampak sebagai wanita tua renta.

Mitos Ratu Kidul, sungguh mengingkari kenyataan. Di sini mitos mengalahkan realitas, tradisi menggusur modernisasi. Sebab hampir di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Banyuwangi, Jawa Timur, ratu lelembut ini dipercaya ada bukan dalam alam khayal semata.
Jadi mungkin benar pula apa yang dikatakan oleh Edmund Leach dalam bukunya Culture and Communi-cation, bahwa mitos merupakan jembatan antara dunia yang tampak dengan jagad yang tak kelihatan. Mitos merupakan jawaban dari penghayatan manusia ketika ilmu pengetahuan tak lagi sanggup menerangkan hal-hal yang kelewat supernatural. Apa jawaban manusia Jawa tradisional terhadap ganasnya lautan yang acapkali meminta korban, kalau bukan sosok lelembut bernama Ratu Kidul.
Kayak apa rupa Kanjeng Ratu Kidul itu? Sayang sekali Babad Tanah Jawi hanya mengatakan kecantikannya tak tertandingi gadis-gadis di bumi ini. Sementara menurut kalangan tertentu yang mengaku pernah juga tahu, kecantikan ratu lelembut ini tak terlukiskan kata. Dia berkulit kuning langsat, mulus dan berperangai halus. Kepalanya berhias mahkota kuning keemasan, dan di deretan giginya ada taring lancip kecil. Katanya, taring runcing ini justru menambah pesona wajah sang Ratu dan hanya terlihat saat dia murka saja. Satu ciri lagi, dia gemar mengenakan wama hijau.
Paling gampang membayangkan, lihat saja lukisan Basoeki Abdullah yang sengaja ditaruh di kamar 308 Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu. Konon lukisan itu bukan sekadar asal coretan tangan semata. Contoh lain, masih segar dalam ingatan saat kirab jumenengan (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X tahun 1989 lalu. GBPH Yudhaningrat, pengawal iring-iringan kereta Hamengku Buwono X, merasa melihat ada putri cantik tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam kereta Garudayaksa dan duduk di samping Sri Sultan. Berbarengan dengan itu, kuda Yudhaningrat melonjak kaget menyebabkan
penunggangnya terjatuh. Peristiwa itu terjadi di sebelah utara alun-alun Keraton Yogya. Siapa lagi putri cantik itu kalau bukan Nyai Roro Kidul yang saat itu diributkan korankoran setempat, bahwa Nyai Roro Kidul memang ikut mendampingi Sri Sultan berkirab.
Contoh di atas adalah bukti kecil dari sekian banyak bukti yang pernah tersebar tentang keberadaan ratu demit segoro kidul. Tokoh ini memang membingungkan sekali,
kalau sedang baik hati dia mau memperlihatkan diri, cuma kalau lagi murka bisa menyeret manusia ke dasar samudera.
"Biasanya orang yang jadi korban, kaum muda yang kemendel atau sok jagoan, berteriak menantang supaya Kanjeng Ratu Kidul itu memperlihatkan dirinya," ujar Harno Sutopo, penduduk Pantai Parangtritis, Yogya. Menurut Harno, Parangtritis itu pintu gerbang keraton laut selatan, makanya berlakulah yang wajar-wajar saja. Jangan berteriak-teriak menantang, jangan pula berpakaian warna hijau pupus. "Hijau adalah warna seragam prajurit penghuni laut selatan, juga warna kegemaran sang ratu," tuturnya.

Pandangan masyarakat Jawa terhadap kekuasaan Kanjeng Ratu Kidul, mirip pandangan terhadap kekua-saan raja-raja Jawa itu sendiri. Yaitu, wakil Tuhan yang berkuasa di dunia. Cuma bedanya, raja-raja Jawa itu kasat mata, sedangkan Ratu Kidul datan kasat mata (tak terlihat). Apa komentar Ki Juru Permana tentang penguasa lelembut segoro kidul ini? Penasihat spiritual Keraton Ngayogyakarta itu beranggapan, segoro kidul adalah
keraton kajiman (kerajaan jin), namun di dalamnya seperti Keraton Yogyakarta - ada istana, alun-alun, pohon beringin, jalan, dll. Begitu pula struktur pemerintahannya, Kanjeng Ratu Kidul dalam melaksanakan pemerintahannya dibantu oleh dua patih, yaitu patih lebet (urusan dalam) dan patih jawi (urusan luar). Di samping pembantu kerajaan lainnya, seperti manggalayudha, penghulu, mertolutut, dll.
"Zaman dulu, masyarakat sepanjang tepi Sungai Winongo dan Progo, setiap bulan Suro pasti mendengar suara lampor, yaitu barisan kereta kuda pimpinan Kanjeng Ratu Kidul sendiri," ujar Ki Juru Permana. Lampor merupakan kunjungan persahabatan antara rakyat segoro kidul
dengan penghuni Gunung Merapi. Biasanya lampor itu disambut penduduk sekitar dengan suara bunyi-bunyian apa saja, guna mencegah barisan jin, setan tak sempat mengganggu penduduk. "Tapi ini dulu, sejak kedatangan Jepang kok, lampor itu hilang," ujarnya.
Ki Juru Permana mengakui, penguasa laut selatan itu memang ada dan setiap raja Jawa dulu mampu berkomunikasi dengannya.
“Sayangnya saya belum pernah melihat sendiri.Padahal berkali-kali saya diserahi memimpin upacara keraton. Jadi bagaimana ya saya harus bercerita,” tuturnya

Bagi kalangan tertentu, sebutlah itu dukun, atau kalangan mistik amatiran dan ilmu sebangsanya, dewi laut selatan ini dianggap betul betul ada dan dituntut untuk percaya. Bagaimana tidak, kejadian demi kejadian gaib di Parangtritis kerapkali menjadi saksi hidup yang sanggup membuyarkan keraguan orang yang tadinya tak percaya. Namun bagi penelaah sejarah, khususnya sejarah awal berdirinya Mataram, historisitas yang tersirat dalam naskah kuno apalagi berbentuk babad, memang tidak bisa diterima begitu saja. Sumber itu perlu dipadukan dengan sumber-sumber lain untuk bahan kajian agar sejarah berjalan secara ilmiah.
Lantas, benarkah Nyai Roro Kidul itu ada dan pernah bercinta dengan tokoh sejarah Panembahan Senopati di sekitar tahun 1584? "Jawabnya gampang ditebak, kisah Nyai Roro Kidul itu hanya legitimasi, guna meyakinkan rakyat bahwa Senopati penguasa sah tahta kerajaan," kata Drs.Suhardjo Hatmosuprobo. Penulis buku Peradaban Priyayi itu lebih jauh menjelaskan, gelombang laut selatan memang lebih ganas dibandingkan dengan laut utara Jawa. Sejak dulu sukar dilayari dan tak bisa dijadikan sumber mata pencarian, bahkan acapkali minta korban manusia. Realitas ini merupakan misteri yang banyak menyemburatkan pertanyaan yang menuntut jawaban.
"Kondisi alam yang penuh tabir rahasia inilah yang melahirkan mitos Ratu Kidul," ujarnya. Dalam konteks demikian itulah Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyatakan mitologi Nyai Roro Kidul dapat dipandang sebagai personifikasi dari bahaya laten dan terorisme alamiah. Perkawinan sakral antara penguasa laut selatan dengan raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senopati dengan sendirinya akan memperkuat struktur protektif dari Kerajaan Mataram sebagai orde institusional yang berlaku di zaman itu (Kompas, 27 September 1984).
Di lain pihak Alm. Prof Slametmulyana (1982) menafsirkan lain, kunjungan Panembahan Senopati ke segoro kidul sebagaimana diceritakan naskah lama, menurutnya dalam rangka riset untuk mendirikan kerajaan agung Mataram yang agraris menjadi maritim. Yang dicari adalah kemungkinan bisa tidaknya di sana dibangun pelabuhan besar. Soalnya, pantai utara Jawa kala itu masih dikuasai kaum Cina dan bekas Kerajaan, Demak. Tapi usaha Senopati itu gagal, karena Samudera Hindia itu memang terlalu ganas dan sukar dijinakkan menurut ukuran dulu.
Menurut Suhardjo, pemujaan Kanjeng Ratu Kidul itu baru muncul sekitar pertengahan abad ke-16, namun sebelumnya mungkin sudah ada cerita rakyat yang berkembang di sana dalam bentuk lain. Folklor inilah yang kemudian dimodifikasi oleh Panembahan untuk dijadikan dasar legitimitas kekuasaan raja dan dinastinya.
Pandangan serupa dikemukakan juga oleh Sudharmono, sejarawan dari UGM yang mengatakan mitos Kanjeng Ratu Kidul merupakan penambahan unsur magis agar rakyat tetap yakin dan tak tergoyahkan terhadap kedudukan raja sebagai satu-satunya medium penghubung dunia mikro kosmos dengan alam makro kosmos.
"Sebagai sejarawan jelas saya tak begitu saja lekas percaya, adanya Kanjeng Ratu Kidul itu sebelum ada bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan," tegasnya.
"Tapi bagaimana ilmu pengetahuan sanggup membuktikan hal-hal yang supernatural. Ini sangat sukar diterangkan. Sementara kesaksian-kesaksian cukup banyak dan meyakinkan bahwa Nyai Roro Kidul itu ada. Maka sebagai orang Jawa saya percaya juga kalau makhluk halus itu memang ada," ungkapnya.
Mitos Nyai Roro Kidul, sudah lama memang jadi bahan gunjingan awam sekaligus kajian para ahli, khususnya pakar sejarah Mataram. Tak kurang pelacak sejarah legendaris H.J. de Graff (1954) atau pakar tulisan dan bahasa Jawa kuno Prof. R. Ng. Poerbotjaroko (1962), sama-sama beranggapan mitos Roro Kidul itu hanya akal-akalan Senopati saja untuk membesar-besarkan kekuasaannya supaya lebih dicintai dan diakui rakyatnya.
Dalam kerangka lebih teoritis, barangkali seperti dirumuskan oleh Sartono Kartodirdjo (1982 : 228), bahwa prinsip penciptaan kharismatis baik berupa ndaru, pulung, atau wangsit maupun yang terwujud sebagai keajaiban supernatural, menjadi dasar legitimitas kekuasaan raja dan dinastinya.
Begitulah mitos ini masuk jadi bagian dari sistem religi masyarakat Jawa khususnya, Indonesia umumnya. Dengan demikian sekarang ini masyarakat Indonesia memiliki dua kisah Nyai Roro Kidul yang berbau sejarah dan Kanjeng Ratu Kidul yang totalitas dongeng. Jadi kalau mau percaya Roro Kidul itu ada, pa-kailah teropong ilmu datan kasad mata. Mau tak percaya Roro Kidul ada, pergunakan kacamata ilmiah berdasar data sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Itu saja.

MISTERI PENGHUNI TIGA KOSONG DELAPAN
Dilihat dari luar, nyaris tak ada bedanya dengan kamar-kamar yang ada di lantai III Samudera Beach Hotel
(SBH), Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Namun, kalau pintu bercat kuning itu terbuka, akan nampak bahwa kamar 308 ini memang lain. Berbareng dengan terbukanya pintu, bau wangi dupa ratus seketika merebak menyengat hidung dan mendirikan bulu roma siapa pun yang masuk ke dalamnya.
Suasana magis segera terasa, begitu orang melihat isi, kamar berkarpet hijau ini. Sebuah ranjang berseprai beludru warna hijau pupus terletak mepet tembok pemisah ruangan dengan kamar mandi. Di atasnya seperangkat pakaian wanita terlipat rapi seperti sanggul, kain batik, kebaya, selendang plus satu set peralatan kosmetik lengkap. Sebuah cermin hias terpasang di dinding. Di sudut ruangan dekat tirai jendela terdapat sebuah meja kecil dengan lukisan Nyai Roro Kidul karya Basuki Abdullah yang dihiasi beberapa patung wayang dari kayu di depannya. Lukisan serupa berukuran 1,5 x 1 m nampak diletakkan menyandar di dinding antara meja dengan ranjang. Sementara beberapa vas bunga, cupu tempat ratus, hio yang ditaruh di dalam kamar semakin menambah kesan hening ini menjadi sakral.
Benda-benda serta lukisan itulah yang menandakan, kamar ini ber-"penghuni" meski nyatanya tidak kasat mata. Itu juga salah satu sebabnya fasilitas seperti layaknya kamar hotel,    , kecuali telepon, tetap disediakan. Misalnya air minum, TV 14 inci, handuk serta tak ketinggalan sabun mandi. Bahkan roomboy setiap hari mengganti baik seprai, handuk maupun air minum. Memang, sejak pembukaan hotel ini sekitar tahun 1965 kamar 308 tidak disewakan. "Kamar ini beralih fungsi untuk bersemedi siapa pun yang berminat. Kami hanya meneruskan tradisi tersebut," ujar Sales Manager Samudera Beach Hotel, Rachmat Panji, Konon menurut sebuah sumber di hotel tersebut, Alm. Bung Karno yang menyarankan kebijakan itu. Jadilah kamar ini sebagai tempat "berlabuh" para peziarah. Tak hanya itu, dalam perkembangannya kemudian, bagi SBH keberadaan kamar 308 ini mendatangkan keberuntungan tersendiri, dibandingkan dengan hotel-hotel lain yang dikelola PT Hotel Indonesia lnternasional. "Tak dapat disangkal, kami memang punya pangsa pasar yang cukup unik. Ada pelanggan biasa, tapi banyak juga pelanggan 'jalur khusus', yakni mereka yang setiap hari tertentu datang kemari untuk keperluan semadi di kamar tersebut. Biasanya pengunjung kamar itu ramai kalau pas malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon," tambah Panji.
Menurut Mang Acil, pengurus kamar 308, mereka berasal dari berbagai penjuru kota baik dari Jawa maupun di luar Jawa.
"Mereka percaya, kalau dalam semadi bisa melihat wajah Nyai Roro Kidul artinya permohonannya akan terkabul atau paling tidak akan menemui keberuntungan." Anehnya, selama lebih dari 10 tahun bertugas di situ, belum pernah sekali pun Mang Acil punya pengalaman didatangi atau melihat penampakan Nyai Roro Kidul. Sebaliknya, beberapa tamu mengaku punya pengalaman unik ketika bersemadi di situ. Di antaranya ada yang setelah semadi lantas naik pangkat, tapi ada juga yang sepulangnya dari tempat itu mobilnya kejatuhan batu besar tanpa sebab atau memotret tapi setelah filmnya dicuci ternyata tidak ada gambarnya.
"Kalau ditanya, saya pun percaya adanya makhluk halus. Kan itu sama-sama ciptaan Tuhan. Saya menghormati, tapi ya jangan disembah-sembah," tambah Acil. Toh, tidak ada yang harus dipersalahkan kalau yang datang ke situ kemudian membawa barang-barang seperti lilin, hio, dupa maupun ratus untuk sarana mereka bersemadi. Bisa dimengerti pula kalau kemudian pihak Samudera Beach Hotel dengan bi-jaksana memberi peringatan dini sebelum para tamu terjebak pada praktek-praktek mistik yang dilarang agama. Siapa pun yang masuk kamar itu akan segera melihat selembar kertas di atas meja bertuliskan, Berdoalah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para tamu dilarang membawa masuk benda-benda pemujaan.
Ulah para tamu khusus ini juga macam-macam. Ada yang bersemedi sendirian, bersama keluarga atau malah minta ditemani Mang Acil. "Barang ataupun benda yang
ada di kamar itu pun kebanyakan sumbangan dari para tamu. Ada yang katanya berhasil ketemu dengan Nyai Roro Kidul dalam semadinya, lantas sang Nyai meminta kain, ya kemudian tamu tersebut membelikan kain. Begitu juga dengan peralatan kosmetik dan wewangian di situ," tambah Acil.
Membanjirnya tamu yang karena rasa penasaran ingin menyaksikan kamar 308 atau memang sengaja datang kesitu untuk bersemadi, memang bisa dibilang penglaris. Ada semacam peraturan tidak tertulis yang mengharuskan tamu "jalur khusus" ini untuk menginap di SBH. "Kalau kebetulan peminat yang akan bersemadi di situ banyak, ya kami terpaksa membuat jadwal. Setiap orang diberi jatah masuk dan semadi di kamar masing-masing dua jam," ujar Panji.
Dilihat secara makro, munculnya kisah misteri penghuni kamar 308 ini memang bukan kasus yang berdiri sendiri tanpa melihat alam budaya sekitamya. Bagaimanapun kepercayaan penduduk setempat tentang adanya Nyai Roro Kidul ini sampai kini pun masih merasuk kuat. Masyarakat Jawa Barat khususnya di Pelabuhan Ratu percaya, Nyai Roro Kidul adalah titisan Putri Kadita, anak Prabu Siliwangi yang ditenung oleh para selir raja yang merasa iri melihat kebahagiaan sang permaisuri dan putrinya. Pengaruh tenung itu menyebabkan wajah Putri Kadita yang semula jelita menjadi buruk dan mengerikan. Karena diusir dan istana, akhimya Putri Kadita bertapa di batu karang Karanghawu (8 km sebelah
barat Samudera Beach Hotel). Atas petunjuk dewata ia menenggelamkan diri ke samudera dan seketika
wajahnya kembali menjadi cantik seperti semula. Sejak itulah ia bertahta di laut selatan.
Sampai sekarang legenda ini masih lestari. Buktinya, nelayan Pelabuhan Ratu pun punya ritus khusus untuk mengucap syukur dan meminta keselamatan kepada penguasa laut setiap Hari Nelayan, tanggal 6 April. Caranya dengan melabuh sesaji ke laut.