Selasa, 01 Februari 2011

Film Aceh diiringi musik Jawa

Musik bukan masalah penting, mungkin begitu anggapan masyarakat kita. 
Oleh sebab itu kerap terjadi penggunaan musik secara sembarangan.
Misalnya saja apa yang saya alami ke­tika menghadiri suatu upacara pernikahan di Semarang, yang kebetulan diseleng­garakan dalam gaya tradisi budaya Barat.
Pada saat pasangan mempelai ber­gaya tradisi Barat melangkah masuk ke ruangan pesta, mendadak para pemain musik semarak mengalunkan lagu Mar­che Funebre petilan dari Sonata Frederik Chopin untuk pianoforte. 

Salah Kaprah dalam istilah makanan

Salah satu karya masakan berasal dari budaya Cina yang cukup populer di Indonesia, bahan ramuan utamanya disebut "kodok". 
Maka di menu berbagai rumah makan dari yang mewah sampai layar warung kaki lima, semarak ditawarkan aneka hidangan bergelar menarik seperti Kodok Goreng, Kodok Kuah jahe, Kodok Asam Manis, Kodok Goreng Lapis Tepung, Oseng-oseng Kodok, Kodok Saus Tirem, Sate Kodok, Perkedel Kodok dan lain sebagainya. Masakan kodok itu cukup digemari akibat dagingnya memang putih bersih, lezat plus empuk untuk dikunyah. Namun, sebenarnya sebutan kodok itu keliru !

Legen minuman para Dewa

Coba perhatikan, pada bulan Ramadhan mendadak bermunculan pedagang kolang-kaling, yang sering dimanfaatkan sebagai campuran pada kolak.
Dari pohon yang sama, selain kolang-kaling juga dihasil­kan air legen (enau, nira). 
Sayangnya, di zaman seka­rang sulit menemukan penjual air legen. Rasanya yang khas membuatnya dijuluki minuman para dewa. Minuman ini dapat ditemui di daerah yang masih banyak ditumbuhi pohon enau, nira, atau aren (Arenga pinnata). Selain diminum, le­gen juga dapat diolah menjadi gula kawung (gula jawa).
Kelangkaan itu beralasan karena menurut kepercayaan turun-temurun, minuman legen sesungguhnya tidak diperjual­belikan. Masyarakat di Desa Cigalontang, Tasikmalaya, per­caya, air nira yang diambil saat subuh kemudian dijual bia­sanya akan gagal diproses menjadi gula. Di kota air legen dijual melulu untuk minuman, bukan untuk diolah menjadi gula. Sebaliknya, jika baru diambil kemudian diminta untuk hal yang bermanfaat, biasanya akan menghasilkan gula ka­wung yang baik (menurut kepercayaan setempat).
Air legen yang di kota dikenal sebagai air lahang sebe­narnya bukan air legen asli, melainkan air gula yang dicam­pur dan disimpan semalam di bambu sehingga rasanya mi­rip air legen asli. Yang asli bila sudah keluar dari tempat aslinya, paling hanya tahan sampai lima-jam sebelum akhir­nya basi.
Bila demikian, air lahang atau legen buatan itu tidak da­pat disebut sebagai minuman dewa, sebagaimana yang asli bukan?

Kecamatan Matematika

Daerah Sumatra Barat yang lebih dikenal dengan se­butan Ranah Minang terdiri atas sembilan kabupaten dan enam kota madya, yang masing-masing tentu ma­sih terbagi lagi menjadi kota kecamatan. 
Kalau diperhatikan hampir di setiap kabupaten atau kodya tersebut terdapat kecamatan yang namanya menggunakan angka. Cara penu­lisannya umumnya dengan angka Romawi.
Misalnya Kec. N Angkat Candung, Kec. N Koto di Kabu­paten Agam, Kec, V Kaum di Batusangkar, Kec. N Jurai, Koto XI Tarusan di Pesisir Selatan, Kec. X Koto di Atas, X Koto di Bawah di Kabupaten Solok, Kec. Kapur IX di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan lainnya.
Kalau dilihat, di luar Sumbar ada tiga kecamatan yang menggunakan angka Romawi untuk nama, yakni Kec, Rokan N Koto, Kec, XII Koto Kampar di Kabupaten Kampar, Riau, dan Kec. Batin XXN di Kabupaten Batang Hari, Jambi. Dua provinsi yang disebut terakhir memang bertetangga dengan Provinsi Sumbar.
Ada satu nama kecamatan di Kabupaten Padang Paria­man yang namanya agak unik, yakni Kec. 2 x 11 Enam Lingkung (Dua Kali Sebelas Enam Lingkung). Tak menghe­rankan kalau kecamatan itu sering disebut Kecamatan Ma­tematika.
Sepintas nama kecamatan itu memang persis soal mate­matika bagi pelajar SD, yang tentu akan sulit dicari jawab­annya. Atau jangan-jangan ada ahli matematika yang dapat menyelesaikan ''Soal" tersebut?

HOLOPIS KUNTUL BARIS

Tahukah Anda, bahwa kata-kata "holopis kuntul baris" itu kata impor? 
Kiranya banyak yang belum menge­tahui bahwa semboyan di atas itu dulunya "bawa­an" para awak kapal asing (kapal dagang Belanda) di zaman ramai-ramainya perdagangan VOC di Nusantara tercinta ini.
Konon waktu itu ada kapal dagang Belanda yang ber­sandar dan menurunkan berkoli-koli muatannya di pelabuhan di Jawa Timur. Ketika sedang menurunkan muatan, seke­lompok awak kapal Belanda yang bertugas merasa kewa­lahan. Mereka meminta bantuan kawan-kawan yang lain dengan berteriak-teriak, "Help ...iets ... ontilbaars ...! (Tolong ... ada yang tak terangkat !)."
Teriakan itu terus dikumandangkan saat mereka telah menurunkan barang muatan ke darat. Tapi di darat, tena­ga angkat barang terdiri atas penduduk pribumi. Para pe­kerja pribumi ini ikut-ikutan berseru memanggil temannya karena barang muatan yang harus dipindah geserkan cukup banyak. Karena proses asimilasi kata, maka kata-kata Belan­da itu menjadi "holopis kuntul baris"!
Ternyata, kata-kata tersebut kalau dipakai pada saat yang tepat, dapat membuahkan hasil yang optimal. Berkat komando holopis kuntul baris, kekompakan gerak bisa terwujud !