Selasa, 01 Februari 2011

Legen minuman para Dewa

Coba perhatikan, pada bulan Ramadhan mendadak bermunculan pedagang kolang-kaling, yang sering dimanfaatkan sebagai campuran pada kolak.
Dari pohon yang sama, selain kolang-kaling juga dihasil­kan air legen (enau, nira). 
Sayangnya, di zaman seka­rang sulit menemukan penjual air legen. Rasanya yang khas membuatnya dijuluki minuman para dewa. Minuman ini dapat ditemui di daerah yang masih banyak ditumbuhi pohon enau, nira, atau aren (Arenga pinnata). Selain diminum, le­gen juga dapat diolah menjadi gula kawung (gula jawa).
Kelangkaan itu beralasan karena menurut kepercayaan turun-temurun, minuman legen sesungguhnya tidak diperjual­belikan. Masyarakat di Desa Cigalontang, Tasikmalaya, per­caya, air nira yang diambil saat subuh kemudian dijual bia­sanya akan gagal diproses menjadi gula. Di kota air legen dijual melulu untuk minuman, bukan untuk diolah menjadi gula. Sebaliknya, jika baru diambil kemudian diminta untuk hal yang bermanfaat, biasanya akan menghasilkan gula ka­wung yang baik (menurut kepercayaan setempat).
Air legen yang di kota dikenal sebagai air lahang sebe­narnya bukan air legen asli, melainkan air gula yang dicam­pur dan disimpan semalam di bambu sehingga rasanya mi­rip air legen asli. Yang asli bila sudah keluar dari tempat aslinya, paling hanya tahan sampai lima-jam sebelum akhir­nya basi.
Bila demikian, air lahang atau legen buatan itu tidak da­pat disebut sebagai minuman dewa, sebagaimana yang asli bukan?