(Gambar sebelah adalah Unur Candi Jiwa )
Karawang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat, lantaran suplai berasnya belum tertandingi kabupaten lain di pantai utara Jabar. Tak banyak yang tahu, kota kecil yang juga ngetop dengan Peristiwa Rengasdengklok itu temyata juga punya lumbung candi. Bahkan kompleks percandian yang dimiliki, Batujaya, diperkirakan merupakan situs tertua dan terbesar di Pulau Jawa .
Saking luas areal penyebarannya, candi-candi yang terletak antara koordinat 6°06'15" - 6°16'17" Lintang Selatan dan 107° 09'03" Bujur Timur ini sempat tak dikenali masyarakat setempat. Ketika pertama kali ditemukan tahun 1984, dikira Cuma gundukan tanah biasa. Padahal reruntuhannya tersebar dalam radius 5 ha. Dari 24 lokasi temuan 13 di antaranya mangkal di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya. Sisanya di Telagajaya. Buat yang ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri, silakan bertandang, karena lokasinya tak sulit dijangkau. Tinggal menyusuri rute Rengasdengklok - Pantai Pakis, Karawang. Kalau tak punya mobil pribadi, ada kendaraan umum yang trayeknya melewati reruntuhan perkampungan zaman baheula ini. Tapi jangan kaget kalau batu-batu candinya terhampar begitu saja di antara pematang sawah. Tidak seperti Borobudur atau Prambanan yang sudah tertata rapi dan menjadi daerah tujuan wisata global nan laris.
( Unur Blandongan )
Terendam lumpur kiriman.
Kondisi menyedihkan kompleks percandian Batujaya bukan tak ada riwayatnya. Sejak dulu, Karawang sebenarnya sudah dikenal sebagai kawasan subur yang banyak dialiri sungai. Sungai terbesar, Citarum, berhulu di lereng Gunung Wayang, Malabar. Lebarnya sekitar 40 - 60 m, terutama di daerah hilir. Sungai tua ini lembahnya berbentuk huruf U dengan aliran yang berkelok-kelok. Selain Citarum, di sekitar Batujaya mengalir pula tiga sungai lain yang bermuara di Laut Jawa, yakni Sungai Pakis, Sukajaya, dan Cikiong.
Nah, secara geografis, kompleks percandian ini terletak di daerah tanggul alam yang hampir saban tahun menerima lumpur kiriman dari Sungai Citarum. Alhasil, permukaan tanahnya cenderung selalu meninggi. Itu sebabnya sebagian besar kompleks candi itu berada di dalam tanah hingga kedalaman 1 - 2 m saat ditemukan kembali.
(Meterei Tablet Budha)
Sayangnya, tak banyak catatan tertulis yang mengungkap sejarah Batujaya di masa lalu. Arsip pemerintah Kolonial Belanda hanya menyebutkan, tahun 1684 daerah ini masih berupa rawa tak berpenghuni. Baru pada 1706, Belanda membersihkan daerah ini dan menjadikannya areal persawahan dan perkebunan. Dengan kata lain, sejak berdiri hingga tenggelamnya kompleks percandian Batujaya, baru pada akhir abad ke-17 desa subur ini dihidupkan kembali. Namun, kalau dianalisis lebih lanjut, kehadiran kompleks pemujaan di hilir Sungai Citarum mestinya tidak lepas dari trend pertumbuhan sosial ekonomi saat itu. Sejak dulu, pantai utara Jawa Barat telah menjadi salah satu pusat lalu lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Temuan arkeologi berupa fragmen tembikar yang dikenal dengan tipe romanic roulette di daerah Buni, Kabupaten Karawang misalnya, diduga berasal dari abad pertama Masehi.
Temuan itu memberi petunjuk bahwa saat itu di wilayah sekitar pantai utara Jawa barat telah tumbuh permukiman-permukiman kuno, kelanjutan dari masa prasejarah. Sekaligus menunjukkan perannya dalam lintas perdagangan internasional. Bisa dipastikan, salah satu permukiman itu adalah kompleks percandian Batujaya yang terletak sekitar 6 km dari garis pantai utara Jawa Barat.
Bukti-bukti tadi menegaskan, pada awal Masehi, sebelum munculnya Kerajaan Tarumanegara, kawasan sepanjang pantai utara Jawa Barat telah memiliki kantung-kantung permukiman kuno. Kantung ini kemudian berkembang menjadi pelabuhan yang berperan aktif dalam pertumbuhan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Sunda Kuno. Perkiraan ini diperkuat catatan Clodius Ptolomeans dari abad ke 2 - 3 Masehi yang membuat peta perjalanan seraya menyebut beberapa nama dan tempat di Indonesia, terutama pelabuhan-pelabuhan dekat Selat Sunda.
Di sisi lain, dari berbagai prasasti diketahui, sekitar abad ke-5 telah berdiri sebuah kerajaan Hindu, Tarumanegara. Daerah Bekasi dan Karawang kerap dikaitkan dengan sepak terjang kerajaan ini. Menurut Poerbatjaraka, nama Candrabhaga yang disebut-sebut dalam Prasasti Tugu diduga nama sebuah sungai di India yang diadaptasi menjadi nama sungai di Jawa. Kajian etimologi nama itu juga menunjukkan kemiripan dengan Bekasi, yang diperkirakan bekas pusat Kerajaan Tarumanegara. Berita Cina tertua yang menyinggung Kerajaan Tarumanegara dilaporkan oleh FaShien tahun 414 M, menyebutkan bahwa di Taruma (Yepoti) sedikit sekali dijumpai orang yang beragama Buddha, tetapi banyak ditemukan orang Brahmana. Tampaknya, aktivitas perdagangan internasional dan kehadiran Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat bisa disebut sebagai motif didirikannya kompleks pemujaan Batujaya. Kompleks ini juga dapat dipahami sebagai proses penerimaan masyarakat Sunda Kuno terhadap agama Hindu - Buddha di Jawa Barat.
(Unur Candi Telagajaya)
Pakai pipi tangga
Penggalian yang dilakukan Pusat Penelitian Arkeologi (PPA) di Batujaya sejak 1992 berhasil mengidentifikasi 24 lokasi yang diduga mengandung bangunan candi. Sebagian lokasi telah diketahui penduduk, biasa disebut unur (gundukan tanah), sedangkan lokasi sisanya ditemukan saat survei. Penamaan bekas bangunan candi ini disesuaikan dengan nama desa tempat reruntuhan ditemukan. Sampai saat ini belum semua lokasi diteliti secara intensif.
Beberapa temuan yang telah dipugar misalnya Candi(Unur) Jiwa (Segaran I). Candi ini terletak di tengah areal persawahan, berbentuk gundukan tanah oval setinggi 4 m dari permukaan tanah. Penelitian PPA dan Jurusan Arkeologi FSUI tahun 1985 - 1986 berhasil menemukan sisa bangunan berukuran 19 x 19 m dengan tinggi 4,7 m. Bangunan yang tersusun dari 47 lapis bata ini tidak mempunyai tangga naik. Di bagian atasnya terdapat susunan bata melingkar berdiameter 6 m. Formasi bata melingkar itu diperkirakan bekas stupa. Jika dugaan ini benar, naga-naganya bentuk Candi Jiwa mirip dengan Candi Sumberawan di Malang, Jawa Timur. Yakni terdiri atas stupa besar yang berdiri di atas bangunan utamanya. Cuma bahan penyusun candinya yang berbeda. Candi Jiwa berbahan batu bata, sedangkan Candi Sumberawan terbuat dari susunan batu andesit.
Bangunan selanjutnya Candi Blandongan (Segaran V). Bangunannya berbentuk bujur sangkar berukuran 24,2 x 24,2 m. Candi ini bertingkat tiga dan mempunyai empat tangga masuk pada tingkat pertama yang berorientasi pada empat arah mata angin: timur laut, tenggara, barat daya, dan barat laut. Lebar tangganya rata-rata 1,6 m, yang kanan-kirinya dilengkapi pipi tangga setebal 40 cm.
Lantai pertama mempunyai selasar atau halaman yang mengelilingi bagian terasnya, berukuran 17,64 x 17,64 m. Lantainya dilapisi adonan kapur dan kerikil. Selain berhasil membuat denah bangunan candi, para peneliti juga menemukan peninggalan-peninggalan serta fragmen-fragmen (pecahan prasasti dan sejenisnya) yang mempunyai hubungan erat dengan bangunan candi. Meterai tablet misalnya, ditemukan 43 buah, 10 di antaranya dalam keadaan utuh. Meterai ini terbuat dari tanah liat yang dibakar, berbentuk empat persegi panjang dengan bagian atas agak membulat. Masing-masing sisinya memiliki bingkai, sedangkan bagian tengahnya menggambarkan relief Buddha Amitabha. Sebagian dilengkapi tulisan Khmer kuno di bagian bawah relief, sebagian lagi polos. Rata-rata ukuran panjang 6 cm, lebar 4 cm, dan tebal 8 mm.
Konon, meterai-meterai yang tersebar di Asia Tenggara terdiri atas dua tipe. Tipe pertama menggambarkan relief yang berhubungan dengan cerita kehidupan sang Buddha dengan bahasa Pali dan Khmer kuno. Tipe ini diduga populer pada periode Dwarawati di Thailand Selatan di abad ke 6 - 7 M. Sementara tipe kedua menceritakan hubungan Buddha dengan tokoh-tokoh lainnya, usianya lebih muda ketimbang tipe pertama. Meterai-meterai Candi Batujaya diperkirakan berasal dari periode Dwarawati, sekitar abad ke 6 -7M.
Temuan pendukung lainnya adalah sempalan prasasti yang terbuat dari tanah liat. Fragmen yang ditemukan di Blandongan ini diperkirakan pecahan sudut kanan atas dari prasasti induknya. Panjangnya 65 mm, lebar 50 mm, dan tebal 10 mm. Masing-masing sisi bertuliskan aksara Pallawa sebanyak tiga baris. Pecahan lempeng ini tidak tegak lurus, sehingga ukuran sisi depan dan belakang berbeda. Prasasti induknya diperkirakan bagian dari mantra suci agama Buddha. Candi Blandongan juga meninggalkan warisan fragmen arca terakota yang terbuat dari kapur. Bahan kapur juga digunakan untuk melapisi dinding candi atau stuco. Sempalan arca ini tidak begitu jelas menggambarkan tokoh-tokohnya. Tapi jika dilihat dari salah satu arca yang raut mukanya agak menyeramkan dengan mata melotot, arca ini mirip dwarapala alias penjaga bangunan suci.
Kerangka teraduk
Di teras ketiga (puncak) Candi Blandongan terdapat semacam sumur yang telah teraduk. Saat ekskavasi tahun 1999, di dalam adukan sedalam 75 cm ini ditemukan satu kerangka manusia tidak utuh dengan bagian kepala menghadap ke timur, sedangkan tulang pinggulnya mengarah ke barat. Dilihat dari bentuk gigi dan tulang pinggulnya, kerangka itu diperkirakan milik seorang anak perempuan berumur antara 10 - 12 tahun. Sayangnya, ketika ditemukan kerangka itu telah teraduk sehingga tidak diketahui secara pasti hubungannya dengan masyarakat pendukung candi. Unur lain yang telah diselidiki intensif adalah Telagajaya VIII, yang memiliki bangunan terbuat dari bata berukuran 8,0 x 11,5 m, dengan ketebalan rata-rata 0,6 m. Di bagian tengah bangunan terdapat lubang bujur sangkar dengan ukuran 1,5 x 1,5 m. Sisa bangunan yang ditemukan ini diperkirakan bagian bawah dari sebuah kaki bangunan, karena ditemukan rata-rata pada kedalaman 0,4 m dari permukaan tanah. Belum tuntasnya penelitian arkeologi menyebabkan "tampang" Batujaya tak seelok Borobudur atau Prambanan. Meski dari sisa bangunan yang ada, para arkeolog sepakat unur-unur itu merupakan tempat pemujaan yang nilainya sejajar dengan candi-candi masa klasik lainnya. Apalagi selain bangunan candi, ada juga bekas kolam dan sumur, mencerminkan adaptasi masyarakat pendukung terhadap lingkungan pemujaan ini di masa lalu. Yang menarik, selama ini di Jawa Barat tidak pernah ditemukan candi yang bersifat buddhistik.
(Arca Teracota)
Sementara bukti-bukti peninggalan di Batujaya (di antaranya dari meterai tablet berelief Buddha Amitabha) diketahui, kompeks pemujaan ini menganut nilai-nilai agama Buddha. Jadi, Batujaya merupakan satu-satunya candi Buddha yang ditemukan di Jawa Barat sampai saat ini. Bahkan kalau ditilik tahun pembuatan atau operasionalnya (sekitar abad ke-6 atau ke-7 M), boleh jadi Batujaya merupakan peninggalan buddhistik tertua dan terbesar di Indonesia. Maka, sungguh naif jika upaya memugar dan mengembalikan tampang asli Batujaya belum juga mendapat dukungan banyak pihak. Sebagai caIon daerah tujuan wisata, letaknya yang dekat ibukota jelas menyimpan potensi ekonomi lebih. Selain itu, diperkirakan masih banyak warisan yang terpendam di dalam tanah. Jika penelitian dan pengembangan kompleks percandian Batujaya ini dilakukan oleh tangan-tangan profesional, bukan tak mungkin Karawang di masa depan akan benar-benar memiliki julukan baru: lumbung candi.