Wisata Candi mengajarkan toleransi yang tinggi
Bangunan candi tak cuma membersitkan kekaguman. Dari peninggalan kuno ini kita juga bisa belajar tentang harmonisasi dan hidup bertoleransi.
Dari perbukitan Baka, panorama sore itu kearah utara terasa menyejukkan. Bentangan sawah, lambaian pohon kelapa, pekarangan, serta rumah penduduk berderet rapi. Di batas cakrawala tampak samar Gunung Merapi dipeluk kabut tipis. Di antaranya Sungai Opak meliuk-liuk. Menyuratkan sebuah wilayah subur. Gemah ripah loh jinawi, tamsil orang Jawa.
Di delta makmur inilah berdiri candi masyhur, Prambanan.
Sebuah bangunan beraliran Syiwa yang juga dikenal dengan sebutan Candi Lara Jonggrang.
Kesatuan dan keharmonisan dengan alam seakan jadi mantra yang dipegang teguh oleh para pembangun masa itu. Lahirlah kemudian motif Pramhanan. Lukisan berupa pahatan pada relief candi yang menggamharkan pohon kehidupan (kalpataru) yang ditunggui makhluk kembar berbadan binatang dengan muka manusia, Kinara-Kinari.
Ragam khas ini ada di luar kaki candi dan hanya ditemukan di Candi Prambanan.
Napak tilas ke berbagai candi di seputar Prambanan tak cuma beroleh petuah soal keharmonisan. Kita sepertinya juga ditantang untuk mendahulukan semangat bertoleransi.
Bayangkan dalam radius tak lebih dari 6 km ditemukan tujuh kompleks percandian dengan aliran kepercayaan berbeda-beda. Mulai dari sebelah barat, Candi Sambisari yang beraliran Syiwa, Kalasan (Buddha), Candisari (Buddha), Prambanan (Hindu), dan Baka (Syiwa).
Perpaduan orientasi keagamaan di satu wilayah itu menggambarkan betapa tinggi kerukunan hidup beragama kala itu. Suatu kondisi yang kini kian langka, tergerus fanatisme sempit. Kerukunan itu tercipta, barangkali lantaran migrasi kepercayaan asal India ke Indonesia berlangsung damai.
Prasasti tertua yang merujuk kedatangan kepercayaan Hindu ditemukan berangka tahun 400 M yang menceritakan seorang raja bernama Mulawarman.
Kalimantan dan Sulawesi memang pijakan bagi perkembangan kepercayaan Buddha dan Syiwa. Selanjutnya pengaruh Hindu merasuk ke Sumatra Selatan, Jawa, Bali, dan beberapa pulau kecil. Prosesnya kompleks, dan tak merata. Para ahli sering menyebutnya osmosis. Setelah menancap sekitar 400 tahun, pengaruh Buddha dan Syiwa mengalami kejayaan terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada 8 - 10 M. Salah satu ujud peninggalannya berupa candi. Beberapa di antaranya berada di delta Sungai Opak, wilayah subur antara Kota Yogyakarta dan Kecamatan Prambanan.
Candi Sambisari salah satu di antaranya. Letaknya ± 5.5
km dari kompleks Candi Prambanan ke arah barat. Atau 2,5 km arah utara dari jalan Yogya - Solo sesudah Bandara Adisucipto. Terpendam selama berabad-abad oleh letusan Gunung Merapi di utaranya, secara kebetulan juli 1966 ditemukan kembali. Ketika sedang mengolah sawah, cangkul Karyoinangun, terantuk batu berukir Yang ternyata batu reruntuhan candi.
Ini proses awal lahirnya kembali sebuah candi.
Setelah penggalian, seleksi dan pengelompokan batu penyusun candi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta, dilakukan rekonstruksi di tahun 1987. Sosoknya adalah sebuah bangunan seukuran 13,65 m x 13,65 m, tinggi 7,5 m. Salah satu keunikannya, berada 6,5 m di bawah permukaan tanah sekitar. Tanah di sekeliling candi memang telah diangkat sehingga tampak bentuk utuh candi dengan luas 50 x 48 m.
Para pekerja yang melakukan pembersihan rutin berspekulasi, kompleks candi barangkali akan lebih luas jika digali lagi. Tapi, mereka khawatir, ke mana air tanah akan dibuang? Soalnya, penggalian yang lebih dari 6,5 m membuat permukaan candi berada di bawah permukaan sungai di sebelah barat.
Kekhasan lain candi yanq bersifat syiwaistis ini adalah tak adanya kaki candi, seperti lazimnya struktur candi. Alasnya sekaligus berfungsi sebagai kaki. Dari sisi bangunan Sambisari tersusun atas sebuah candi induk dan tiga candi perwara. Pada sisi luar dinding candi induk terdapat relung-relung berisi arca-arca. Durga, Ganesha, dan Syiwa Mahaguru. Di dalam ruangan terdapat lingga dan yoni, dua aspek dari Syiwa. Kesatuan keduanya melambangkan totalitas dan kesuburan.
Kendati apik, pendiri candi ini belum diketahui pasti, namun menilik arsitektur dan batu isian diprakirakan didirikan pada abad ke IX M (812 - 838). Kalau prakiraan benar, maka itu masa kekuasaan Raja Rakai Garung yang memerintah pada 828 - 846 dari Dinasti Mataram Hindu.
Melangkah sejengkal ke timur atau kira-kira 2 km. di kanan jalan raya Yogya - Solo, terdapat Candi Kalasan. Meski tak tampak dari jalan lantaran teralang rumah penduduk, candi ini mudah dijangkau. Dengan kendaraan umum, cukup berhenti di depan pos polisi Kalasan, lalu tinggal menyeberang jalan. Candi Kalasan ada di sisi timur jalan itu. Sementara mobil pribadi bisa langsung parkir di pinggir Jalan dekat lokasi candi. Dari sini pelataran candi sudah terlihat. Pintu masuk ada di timur, maka pengunjung harus berjalan sedikit memutar menyusuri pinggiran pagar kawat berduri.
Arca Dewi Tara sendiri tak ada di tempatnya, melainkan disimpan di Museum Nasional Jakarta. Ini upaya terakhir menghindari keganasan pencuri yang merajalela. Seorang satpam Candi Kalasan bercerita, pernah menemukan sebuah arca di pekarangan penduduk tak jauh dari candi. Arca itu digeletakkan begitu saja saking beratnya. Para pencuri agaknya cuma bermotif ekonomi, memuaskan nafsu dahaga para kolektor benda-benda antik.
Aktivitas pencuri dan sebab-sebab lain membuat bangunan Candi Kalasan tampak paling tidak lengkap dibandingkan dengan candi-candi lain di sekitarnya. Banyak stupa dan bebatuan hilang. Di antaranya stupa di sekeliling candi yang berjumlah 52 buah. Padahal di dalamnya dijumpai barang-barang berharga seperti peti batu dan periuk. Di dalam periuk perunggu dan tanah liat ditemukan cermin, pakaian, manik-manik, lempengan emas, jarum, rantai, dan pisau. Cermin dan pisau adalah lambang kekekalan bagi mereka yang sudah meninggal. Keistimewaan lain yang lenyap adalah lapisan penutup candi, bajralepa. Begitupun, sosok candi tetap gagah bila dilihat dari bawah. Kaki candi berdiri di atas alas bujur sangkar dengan sisi 45 m dan sebuah batur lebar. Di tengah tiap sisi ada tangga, tepat di muka tangga sisi timur ada batu langka setengah lingkaran. Di sisi tangga pada ujung lengan tangga terdapat makara, binatang mitologis berbentuk mengerikan.
Denah tubuh candi berbentuk bujur sangkar dengan beberapa bilik. Bilik di timur jadi pintu gerbang candi. Namun, bilik ini tak utuh lagi. Yang masih utuh bilik sebelah utara dan selatan.
Sementara batas antara atap dan tubuh candi ditandai hiasan gana (semacam makhluk kerdil dari kahyangan). Bagian atap berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Pada masing-masing sisi di tingkat pertama terdapat arca Buddha, melukiskan para Manusia Buddha.
Tampaknya masa itu kawasan Kalasan menjadi pusat penyebaran agama Buddha. Buktinya, di dekat Candi Kalasan terdapat candi yang sealiran, yakni Candisari. Candi ini bisa dicapai dari jalan Yogya - Solo. Seratus meter dari sini pada ujung jalan berdiri bangunan yang dulunya dipercaya sebagai asrama biara Buddha. Inilah Candisari. Sari berarti indah atau cantik, sesuai bentuknya yang ramping.
Berlokasi di Desa Bendan, Kelurahan Tirtomartani, Kalasan, Candisari ditemukan dalam keadaan rusak berat. Candi berukuran 17,30 x 17 x 10 m ini diprakirakan berdiri pada abad VIII M. Pintu masuk berupa tangga tepat di tengah pada sisi panjang. Pintu ini dihiasi Kala dan di bagian bawah ada pahatan orang menunggang gajah. Ruangan di dalam candi terbagi dalam tiga kamar berjajar yang masing-masing dihubungkan dengan pintu. Bilik itu berukuran 3 x 5,8 m dan terbagi atas bilik atas dan bawah.
Untuk ke ruang atas dipergunakan tangga kayu. Sayang, semua sisa kayu telah rusak. Tapi lubang di dinding mengisyaratkan tempat untuk menaruh ujung balok. Sedang di dinding utara ada beberapa batu dipahat serong, tanda tempat sandaran tangga.
Masing-masing sisi candi terdapat patung Dewa Bodhisatwa dan Tara berjumlah 36 buah.
Melihat bentuk bangunan dengan beberapa kamar, jendela berjeruji kayu, serta lubang jendela, diperkirakan tempat ini dulu dipakai sebagai tempat tinggal wihara, atau asrama para pendeta.
Bisa dibayangkan suasana waktu itu. Para pendeta Buddha mengajar dalam suasana penuh persaudaraan berdampingan dengan penganut agama Hindu atau Syiwa. Semangat toleran itu agaknya sengaja mereka pilih lantaran adanya Candi Prambanan yang beraliran Hindu berdiri tak jauh dari situ.
Alkisah, seseorang yang tidak dikehendaki ingin meminang putri cantik jelita itu.
Sebagai syarat sang putri minta peminang membangun candi dalam semalam. Agar tugas tak selesai, sang putri memerintahkan para jin memukul penumbuk padi, tanda fajar telah tiba. Lantaran kecewa, peminang mengutuk Lara Jonggrang. Sang putri pun menjelma jadi batu. Batu itu gambaran Durga. Ia berujud wanita bertangan delapan yang memegang beraneka ragam senjata dan berdiri di atas banteng Nandi dalam sikap tribangga. Durga adalah dewi kematian, itulah sebabnya ia menghadap ke arah utara, mata angin kematian.
Arca Lara Jonggrang bisa ditemui di Candi Syiwa, candi terbesar dan terpenting di kompleks Prambanan.
Dinamakan Candi Syiwa karena di dalamnya terdapat arca Syiwa Mahadewa. Di candi ini diceritakan kisah Ramayana dalam bentuk relief. Cerita itu dilanjutkan di Candi Brahma.
Dinamakan Candi Syiwa karena di dalamnya terdapat arca Syiwa Mahadewa. Di candi ini diceritakan kisah Ramayana dalam bentuk relief. Cerita itu dilanjutkan di Candi Brahma.
Bila dirinci kompleks percandian Prambanan terdiri atas latar bawah, tengah, dan pusat, yang makin ke dalam makin tinggi letaknya. Latar bawah tak berisi apa pun. Di latar tengah terdapat reruntuhan candi-candi perwara. Bila seluruhnya selesai dipugar, akan ada 224 candi berukuran sama. Latar pusat adalah latar terpenting tempat berdiri 16 candi besar-kecil.
Candi-candi utama terdiri atas dua deret saling berhadapan. Deret pertama yaitu Candi Syiwa, Wisnu, dan Brahma. Deret kedua adalah Candi Nandi, Angsa, dan Garuda. Pada ujung-ujung lorong yang memisahkan dua deretan candi terdapat Candi Apit. Secara keseluruhan percandian ini terdiri atas 240 buah candi.
Kompleks Prambanan sekarang merupakan hasil renovasi tiada henti sejak ditemukan pertama kali oleh C.A. Lons tahun 1733. Kini seluruh area candi telah dibebaskan dari permukiman penduduk. Taman wisata budaya ini dilindungi oleh hukum internasional. Sebagai sarana pendukung juga dibangun teater terbuka, teater tertutup, museum arkeologi, lahan parkir, warung makan, dan kios cenderamata.
Sebelum berkeliling ada baiknya mampir ke ruang audio visual di Museum Prambanan.