Senin, 18 Juli 2011

Candi Borobudur


Candi Borobudur Lambang Abadi Zaman Keemasan Peradaban Indonesia.

Kerajaan Mataram Jawa Te­ngah banyak mewariskan peninggalan-peninggalan sejarah yang tiada ternilai. Terutama candi-candinya, seperti Borobudur, Mendut, Sewu, Pawon dan Prambanan yang meru­pakan monumen abadi, cermin dari peradaban bangsa kita yang tinggi. Candi-candi itu semuanya indah dan anggun. Aneka relief yang amat halus buatannya me­ngandung ceritera ajaran luhur yang terpahat abadi, kian menambah ke­banggaan bangsa kita.

Borobudur yang diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu keajaiban dunia, bentuknya berciri khas Indonesia asli yang sulit dicari padanannya bahkan di India sekalipun. Walaupun demiki­an nafas India masih mengaliri tubuh bangunan Borobudur ini. Bentuk khas Indonesia inilah menyebabkan sementara arkeolog be­rani memastikan Borobudur adalah punden berundak yang cantik, merupakan tempat pemujaan dan penghormatan bagi Roh nenek moyang yang bersemayam di Meru atau pegunungan.
Pada awalnya, terdapat 505 buah patung sang Budha. Patung ini berdiri tersendiri dengan raut muka yang diberi sifat perorangan. Tiap patung merupakan hasil karya seni yang indah. Patung ini dulu­nya mengisi relung, serambi-serambi rupadhatu (bagian ke dua dari candi) dan stupa-stupa, yang me­nyerupai jala di arupadhatu (bagian ke tiga dari candi). Sejumlah 1.555 buah stupa turut melengkapi ke­sempurnaan Borobudur sebagai mo­numen bangsa. Candi Borobudur ini terdiri atas lima tingkatan yang bertangga. Bentuk-bentuk yang megah ini tersusun di atas suatu dasar, ukurannya lebih dari tiga ratus persegi dan disempurnakan dengan stupa yang seolah-olah muncul dari dasar yang terdiri tiga lingkaran konsen­tris. 
Pada tembok-tembok utama­nya terdapat beraneka macam re­lief, dan membentuk suatu kesa­tuan yang menceriterakan tentang hikayat Budha. Di bagian atas, pada tiga buah tingkat yang bun­dar, semua perhiasan Budha tidak dipakai lagi. Ruangan ini penuh oleh tujuh puluh dua buah stupa. Di empat sisinya terdapat tangga yang mengikuti jurusan sumbu candi itu langsung ke puncaknya yang tingginya mencapai seratus kaki. Borobudur dapatlah dibagi atas tiga lingkungan sesuai ajaran Budhisme, yaitu, kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu. 
Pada kama­dhatu, manusia masih terbelenggu oleh sifat keserakahan, sedangkan pada rupadhatu manusia ada pada tahap membinasakan segala keinginan itu tetapi ia masih terikat oleh keduaniawian. Pada tahap aru­padhatu, manusia telah berada pada tingkat kesempurnaan untuk kemu­dian bebas sama sekali dari ikatan keduniawian. 
Bangunan ini meng­ingatkan manusia akan kehidupan­nya di dunia dan di neraka kelak. Bangunan yang berciri Budha Mahayana, juga menceriterakan menge­nai karma, yaitu adanya hukum akibat perbuatan baik atau perbuatan buruk manusia.
Borobudur dibangun secara dua tahap, pada tahap permulaannya, raja Samarattungga lah yang menjadi tokoh pendirinya, kira­-kira sebelas abad yang lalu. Bela­kangan, Rakai Pikatan menyele­saikan dan sekaligus memberi sen­tuhan keindahan pada candi Boro­budur. Tentu saja banyak pen­duduk yang dilibatkan dalam pelak­sanaan pembuatannya.
Lalu apa arti Borobudur bagi kita? Ternyata banyak sekali. Antara lain tentang aspek-aspek ke hidupan pada abad ke delapan dan ke sembilan yang dapat kita ketahui dari relief-relief di candi tersebut. Aneka relief yang pahat­annya memiliki lekuk yang halus, banyak berceritera mengenai seni tari, seni musik, seni sastra Mataram di masa lalu. Belum lagi dengan kekayaan seni pahat, dan seni ar­sitekturnya. Kesemuanya ini seolah menjadikan Borobudur memantul­kan keluhuran budi pekerti dan pengetahuan masyarakat Mataram yang tinggi. Sehingga tidak ber­lebihanlah rasanya apabila Boro­budur dijadikan simbol utuh zaman keemasan kesenian Indonesia, khu­susnya Jawa Tengah.

Seni Tari Dalam Kesenian Jawa Kuno
Sejak kapankah orang Jawa mulai menari dengan lemah gemulai?
Ternyata aneka relief candi pening­galan nenek moyang kita menyim­pan cerita yang panjang tentang hal ini. Konon dikatakan bahwa tari-tarian pada mulanya merupa­kan tarian suci keagamaan yang di­ciptakan Dewa Siwa, dengan diban­tu oleh Dewi Uma.
Tarian suci Siwa dibawakan sebagai pelengkap upacara mensucikan suatu tempat, dibawakan oleh pemuka desa dan pendeta. 
Tarian ini juga sebagai media am­puh untuk menyampaikan nilai-­nilai keagamaan yang luhur.
Ceritera Rama, dan orang suci merupakan ceritera yang ditarikan sebagai contoh teladan saat itu. Sebagai sumber utama tari-tarian ialah kitab kakawin Hindu Klasik. Ternyata, masyarakat Mata­ram di samping tari-tarian yang bernafaskan keagamaan, mengenal pula tarian lain sebagai ungkapan rasa seni dan keindahan. Semua tarian itu diciptakan dengan anggunnya. Jenis tari-tarian yang seperti ini biasanya menggambar­kan makhluk-makhluk cantik yang turun dari kahyangan. Gerakan­-gerakan lembut penuh pesona dari apsara (wanita cantik) ataupun widyadhara (lelaki tampan) yang konon ahli menari dan berdendang menjadi tema yang umum saat itu di Mataram. Begitu pula halnya dengan kisah kinara-kinari pada pohon kalpataru, si pemusik alat petik, yang banyak terpahat pada dinding candi, tak kalah menarik­nya. Penggambaran relief ini mem­perlihatkan betapa indahnya tari­tarian pada masa itu. Selain itu terdapat pula tarian peperangan dengan mempergunakan senjata da­pat pula tarian peperangan dengan mempergunakan senjata tameng di samping tari-tarian yang melukis­kan kelucuan raut muka. Sedangkan bila tari-tarian itu ditujukan bagi peresmian bangunan suci, biasanya dilengkapi pula dengan aneka saji-sajian yang akan diber­kati oleh para resi atau pendeta.
Peradaban istana Mataram mempunyai pengaruh pula bagi kesenian ini. Apabila raja ingin menikmati tarian maka dibuatlah panggung yang lebih tinggi dari tempat duduk, dihiasi dengan rum­bai-rumbai. Penari menari dengan diiringi oleh sepasang logam yang dipukul-pukul, gendang,suling dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat pada relief candi Borobudur dan Loro Jonggrang.

Stupa Hening Tak Bergeming
Nun di sana, di gunung itu, Merapi sibuk bergulat terbatuk-batuk, ada gangguan yang menggerogoti tubuh tuanya. Seolah nyala geramnya menyebar ke tiap sudut pelosok di kakinya. Menebar seram, mencengkeram nyali, maka tak lagi ada yang berani tegar menantang Merapi. Namun di sini, di candi ini, Borobudur, senyap ber­geming. Pagi masih gelap. Lembut usapan semilir angin mengiring pendar "warna­-warna sesaat" dari ufuk timur. Sinar pagi tak seketika menampilkan ujud sang surya. Tinggal di bumi yang sama, di tanah yang sama. tapi itulah harmoni, Ada merah ada putih, ada takut ada be­rani, ada gemuruh ada sunyi. Ada Merapi yang murka ada Borobudur yang tenang.
Stupa sang Buddha tegak terpaku di tempatnya. Para arca tetap kukuh bersila tanpa suara. Sayup-sayup angin mengusik, membangkitkan kesadaran. Dituntun sinar samar yang terangnya mem­bawa diri ingin mengusap awan kabut yang merambat pelahan di pepohonan seki­taran dataran rendah. Pelahan sang surya bergulir. Keras sinarnya menyiram di belah kanan arca Amoghasidhi. Kemilau sinar­nya memandikan, menyusuri, dan menelisik segenap dimensi Borobudur. Alur teks­tur, dan pori-pori batuan pun makin lantang berteriak.
Sang kala berlalu. Tanah mulai terang, insan manusia mengadu untung. Tangan­-tangan berbeda masa terulur menyalurkan hasrat menca­pai arca Bimo di stupa tingkat Arupadhatu.
Candi Borobudur secara keseluruhan memang sebuah stupa. Stupa merupakan sa­lah satu bangunan tanda peringatan khusus agama Buddha. Dalam bahasa Sansekerta, stupa berarti gundukan atau timbunan tanah.
Ucap legenda, sebelum meninggalkan alam fana, sang Buddha ditanya oleh para muridnya, apakah yang dapat dilakukan terhadap tubuhnya setelah ia mening­gal nanti. Dia menyuruh pa­ra muridnya untuk memba­kar tubuhnya, kemudian abu­nya ditutup dengan stupa. Untuk menunjukkan bagai­mana membangun stupa, sang Buddha melipat jubah­nya, kemudian diatasnya diletakkan mangkuk terbalik yang berbentuk kerucut. Diatas mangkuk terbalik itu diletakkan tongkatnya secara tegak (contohnya Borobudur, Pawon dan Mendut).
Memang, itulah unsur­-unsur dasar stupa :
Dasar (prasadha), belahan bola (dagob), dan puncak (yati). Bagaimanapun Borobudur tetap mampu mengusik, membangkitkan kesadaran, bahwa ada alam sebelum yang sekarang ada. Alam dan warisannya yang patut dilestarikan.