Senin, 06 Desember 2010

Karawang Juga Lumbung Candi


(Sumber dari Agustijanto I,Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta)



(Gambar sebelah adalah Unur Candi Jiwa )



Karawang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat, lantaran suplai berasnya belum  tertandingi kabupaten lain di pantai utara  Jabar. Tak banyak yang tahu, kota kecil yang juga ngetop dengan Peristiwa Rengasdengklok itu temyata juga punya lumbung candi. Bahkan kompleks percandian yang dimiliki, Batujaya, diperkirakan merupakan situs tertua dan terbesar di Pulau Jawa . 

Saking luas areal penyebar­annya, candi-candi yang terletak antara koordinat  6°06'15" - 6°16'17" Lintang Se­latan dan 107° 09'03" Bujur Ti­mur ini sempat  tak dikenali masyarakat setempat. Ketika pertama kali ditemukan tahun 1984, dikira Cuma gundukan tanah biasa. Padahal reruntuhannya tersebar dalam radius 5 ha. Dari 24 lokasi temuan 13 di antaranya mangkal di Desa Segaran, Kecamatan Ba­tujaya. Sisanya di Telagajaya. Buat yang ingin menyaksi­kan dengan mata kepala sen­diri, silakan bertandang, karena lokasinya tak sulit dijangkau. Tinggal menyusuri rute Rengasdengklok - Pantai Pa­kis, Karawang. Kalau tak pu­nya mobil pribadi, ada kendaraan umum yang trayeknya melewati reruntuhan perkampungan zaman baheula ini. Tapi jangan kaget kalau batu­-batu candinya terhampar be­gitu saja di antara pematang sawah. Tidak seperti Borobudur atau Prambanan yang sudah tertata rapi dan menjadi daerah tujuan wisata global nan laris.


( Unur Blandongan  )



Terendam lumpur kiriman.
Kondisi menyedihkan kom­pleks percandian Batujaya bu­kan tak ada riwayatnya. Sejak dulu, Karawang sebenarnya sudah dikenal sebagai kawasan subur yang banyak dialiri su­ngai. Sungai terbesar, Citarum, berhulu di lereng Gunung Wa­yang, Malabar. Lebarnya se­kitar 40 - 60 m, terutama di daerah hilir. Sungai tua ini lembahnya berbentuk huruf U dengan aliran yang berkelok­-kelok. Selain Citarum, di sekitar Batujaya mengalir pula tiga sungai lain yang bermuara di Laut Jawa, yakni Sungai Pakis, Sukajaya, dan Cikiong.
Nah, secara geografis, kom­pleks percandian ini terletak di daerah tanggul alam yang hampir saban tahun menerima lumpur kiriman dari Sungai Citarum. Alhasil, permukaan tanahnya cenderung selalu me­ninggi. Itu sebabnya sebagian besar kompleks candi itu ber­ada di dalam tanah hingga kedalaman 1 - 2 m saat di­temukan kembali.


 (Meterei Tablet Budha)


Sayangnya, tak banyak ca­tatan tertulis yang mengungkap sejarah Batujaya di masa lalu. Arsip pemerintah Kolonial Belanda hanya menyebutkan, tahun 1684 daerah ini masih berupa rawa tak berpenghuni. Baru pada 1706, Belanda membersihkan daerah ini dan men­jadikannya areal persawahan dan perkebunan. Dengan kata lain, sejak berdiri hingga tenggelamnya kompleks percandi­an Batujaya, baru pada akhir abad ke-17 desa subur ini dihidupkan kembali. Namun, kalau dianalisis le­bih lanjut, kehadiran kompleks pemujaan di hilir Sungai Cita­rum mestinya tidak lepas dari trend pertumbuhan sosial eko­nomi saat itu. Sejak dulu, pan­tai utara Jawa Barat telah men­jadi salah satu pusat lalu lin­tas pelayaran dan perdagang­an internasional. Temuan arke­ologi berupa fragmen tembikar yang dikenal dengan tipe ro­manic roulette di daerah Buni, Kabupaten Karawang misalnya, diduga berasal dari abad per­tama Masehi.
Temuan itu memberi pe­tunjuk bahwa saat itu di wi­layah sekitar pantai utara Jawa barat telah tumbuh permukim­an-permukiman kuno, kelan­jutan dari masa prasejarah. Sekaligus menunjukkan peran­nya dalam lintas perdagangan internasional. Bisa dipastikan, salah satu permukiman itu adalah kompleks percandian Batujaya yang terletak sekitar 6 km dari garis pantai utara Jawa Barat.
Bukti-bukti tadi menegaskan, pada awal Masehi, sebelum munculnya Kerajaan Taruma­negara, kawasan sepanjang pantai utara Jawa Barat telah memiliki kantung-kantung permukiman kuno. Kantung ini kemudian berkembang menjadi pelabuhan yang berperan ak­tif dalam pertumbuhan sosial, ekonomi, dan politik masya­rakat Sunda Kuno.  Perkiraan ini diperkuat ca­tatan Clodius Ptolomeans dari abad ke 2 - 3 Masehi yang membuat peta perjalanan seraya menyebut beberapa nama dan tempat di Indone­sia, terutama pelabuhan-pe­labuhan dekat Selat Sunda.
Di sisi lain, dari berbagai prasasti diketahui, sekitar abad ke-5 telah berdiri sebuah ke­rajaan Hindu, Tarumanegara. Daerah Bekasi dan Karawang kerap dikaitkan dengan sepak terjang kerajaan ini. Menurut Poerbatjaraka, nama Candra­bhaga yang disebut-sebut da­lam Prasasti Tugu diduga nama sebuah sungai di India yang diadaptasi menjadi nama su­ngai di Jawa. Kajian etimologi nama itu juga menunjukkan kemiripan dengan Bekasi, yang diperkirakan bekas pusat Ke­rajaan Tarumanegara. Berita Cina tertua yang me­nyinggung Kerajaan Taruma­negara dilaporkan oleh Fa­Shien tahun 414 M, menyebut­kan bahwa di Taruma (Yepoti) sedikit sekali dijumpai orang yang beragama Buddha, tetapi banyak ditemukan orang Brah­mana. Tampaknya, aktivitas perdagangan internasional dan kehadiran Kerajaan Taruma­negara di Jawa Barat bisa di­sebut sebagai motif didirikan­nya kompleks pemujaan Batujaya. Kompleks ini juga dapat dipahami sebagai proses pe­nerimaan masyarakat Sunda Kuno terhadap agama Hindu - Buddha di Jawa Barat.



(Unur Candi Telagajaya)


Pakai pipi tangga
Penggalian yang dilakukan Pusat Penelitian Arkeologi (PPA) di Batujaya sejak 1992 berhasil mengidentifikasi 24 lokasi yang diduga mengandung bangun­an candi. Sebagian lokasi te­lah diketahui penduduk, biasa disebut unur (gundukan tanah), sedangkan lokasi sisanya di­temukan saat survei. Penama­an bekas bangunan candi ini disesuaikan dengan nama de­sa tempat reruntuhan ditemu­kan. Sampai saat ini belum semua lokasi diteliti secara intensif.
Beberapa temuan yang te­lah dipugar misalnya Candi(Unur) Jiwa (Segaran I). Candi ini terletak di tengah areal persawahan, berbentuk gunduk­an tanah oval setinggi 4 m dari permukaan tanah. Pene­litian PPA dan Jurusan Arkeo­logi FSUI tahun 1985 - 1986 berhasil menemukan sisa ba­ngunan berukuran 19 x 19 m dengan tinggi 4,7 m. Bangunan yang tersusun dari 47 lapis bata ini tidak mempunyai tang­ga naik. Di bagian atasnya terdapat susunan bata meling­kar berdiameter 6 m. Formasi bata melingkar itu diperkirakan bekas stupa. Jika dugaan ini benar, naga-naga­nya bentuk Candi Jiwa mirip dengan Candi Sumberawan di Malang, Jawa Timur. Yakni terdiri atas stupa besar yang berdiri di atas bangunan utamanya. Cuma bahan penyusun candinya yang berbeda. Candi Jiwa berbahan batu bata, se­dangkan Candi Sumberawan terbuat dari susunan batu andesit.
Bangunan selanjutnya Can­di Blandongan (Segaran V). Bangunannya berbentuk bujur sangkar berukuran 24,2 x 24,2 m. Candi ini bertingkat tiga dan mempunyai empat tangga masuk pada tingkat pertama yang berorientasi pada empat arah mata angin: timur laut, tenggara, barat daya, dan ba­rat laut. Lebar tangganya rata­-rata 1,6 m, yang kanan-kirinya dilengkapi pipi tangga se­tebal 40 cm.
Lantai pertama mempunyai selasar atau halaman yang mengelilingi bagian terasnya, berukuran 17,64 x 17,64 m. Lantainya dilapisi adonan kapur dan kerikil. Selain berhasil membuat denah bangunan candi, para peneliti juga menemukan peninggalan-pening­galan serta fragmen-fragmen (pecahan prasasti dan sejenis­nya) yang mempunyai hubung­an erat dengan bangunan candi. Meterai tablet misalnya, di­temukan 43 buah, 10 di antara­nya dalam keadaan utuh. Me­terai ini terbuat dari tanah liat yang dibakar, berbentuk empat persegi panjang dengan bagian atas agak membulat. Masing-­masing sisinya memiliki bingkai, sedangkan bagian tengahnya menggambarkan relief Buddha Amitabha. Sebagian dilengkapi tulisan Khmer kuno di bagian bawah relief, sebagian lagi polos. Rata-rata ukuran panjang 6 cm, lebar 4 cm, dan tebal 8 mm.
Konon, meterai-meterai yang tersebar di Asia Tenggara ter­diri atas dua tipe. Tipe perta­ma menggambarkan relief yang berhubungan dengan cerita kehidupan sang Buddha dengan bahasa Pali dan Khmer kuno. Tipe ini diduga populer pada periode Dwarawati di Thailand Selatan di abad ke ­6 - 7 M. Sementara tipe kedua menceritakan hubungan Bud­dha dengan tokoh-tokoh lain­nya, usianya lebih muda ke­timbang tipe pertama. Meterai­-meterai Candi Batujaya diperkirakan ber­asal dari periode Dwarawati, se­kitar abad ke 6 -7M.
Temuan pen­dukung lainnya adalah sempalan prasasti yang ter­buat dari tanah liat. Fragmen yang ditemukan di Blandongan ini diperkirakan pecahan sudut kanan atas dari prasasti induknya. Panjangnya 65 mm, lebar 50 mm, dan tebal 10 mm. Ma­sing-masing sisi bertuliskan aksara Pallawa sebanyak tiga baris. Pecahan lempeng ini tidak tegak lurus, sehingga ukuran sisi depan dan bela­kang berbeda. Prasasti induk­nya diperkirakan bagian dari mantra suci agama Buddha. Candi Blandongan juga me­ninggalkan warisan fragmen arca terakota yang terbuat dari kapur. Bahan kapur juga di­gunakan untuk melapisi dinding candi atau stuco. Sempalan arca ini tidak begitu jelas menggambarkan tokoh-tokohnya. Tapi jika dilihat dari salah satu arca yang raut mukanya agak menyeramkan dengan mata melotot, arca ini mirip dwarapala alias penjaga ba­ngunan suci.

Kerangka teraduk
Di teras ketiga (puncak) Candi Blandongan terdapat semacam sumur yang telah teraduk. Saat ekskavasi tahun 1999, di dalam adukan sedalam 75 cm ini ditemukan satu ke­rangka manusia tidak utuh dengan bagian kepala meng­hadap ke timur, sedangkan tulang pinggulnya mengarah ke barat. Dilihat dari bentuk gigi dan tulang pinggulnya, kerangka itu diperkirakan milik seorang anak perempuan ber­umur antara 10 - 12 tahun. Sayangnya, ketika ditemukan kerangka itu telah teraduk sehingga tidak diketahui secara pasti hubungannya dengan masyarakat pendukung candi. Unur lain yang telah dise­lidiki intensif adalah Telaga­jaya VIII, yang memiliki bangun­an terbuat dari bata berukur­an 8,0 x 11,5 m, dengan kete­balan rata-rata 0,6 m. Di bagi­an tengah bangunan terdapat lubang bujur sangkar dengan ukuran 1,5 x 1,5 m. Sisa ba­ngunan yang ditemukan ini di­perkirakan bagian bawah dari sebuah kaki bangunan, karena ditemukan rata-rata pada ke­dalaman 0,4 m dari permuka­an tanah. Belum tuntasnya penelitian arkeologi menyebabkan "tam­pang" Batujaya tak seelok Bo­robudur atau Prambanan. Meski dari sisa bangunan yang ada, para arkeolog sepakat unur-unur itu merupakan tempat pemujaan yang nilainya sejajar dengan candi-candi masa klasik lainnya. Apalagi selain bangunan candi, ada juga be­kas kolam dan sumur, mencer­minkan adaptasi masyarakat pendukung terhadap lingkung­an pemujaan ini di masa lalu. Yang menarik, selama ini di Jawa Barat tidak pernah ditemukan candi yang bersifat buddhistik. 




(Arca Teracota)



Sementara bukti-bukti peninggalan di Batujaya (di antaranya dari meterai tab­let berelief Buddha Amitabha) diketahui, kompeks pemujaan ini menganut nilai-nilai agama Buddha. Jadi, Batujaya merupakan satu-satunya candi Bud­dha yang ditemukan di Jawa Barat sampai saat ini. Bahkan kalau ditilik tahun pembuatan atau operasionalnya (sekitar abad ke-6 atau ke-7 M), boleh jadi Batujaya merupakan pe­ninggalan buddhistik tertua dan terbesar di Indonesia. Maka, sungguh naif jika upaya memugar dan mengem­balikan tampang asli Batujaya belum juga mendapat dukung­an banyak pihak. Sebagai ca­Ion daerah tujuan wisata, letak­nya yang dekat ibukota jelas menyimpan potensi ekonomi lebih. Selain itu, diperkirakan masih banyak warisan yang terpendam di dalam tanah. Jika penelitian dan pengem­bangan kompleks percandian Batujaya ini dilakukan oleh tangan-tangan profesional, bu­kan tak mungkin Karawang di masa depan akan benar-­benar memiliki julukan baru: lumbung candi.