Jumat, 03 Desember 2010

Wisata Candi


Wisata Candi mengajarkan toleransi yang tinggi

Bangunan candi tak cuma mem­bersitkan kekaguman. Dari peninggalan kuno ini ki­ta juga bisa bel­ajar tentang harmonisasi dan hi­dup bertoleransi.
Dari perbukitan Baka, panora­ma sore itu kearah utara terasa menyejukkan. Ben­tangan sawah, lam­baian pohon kelapa, pekarangan, serta ru­mah penduduk berderet rapi. Di batas ca­krawala tampak sa­mar Gunung Merapi dipe­luk kabut tipis. Di an­taranya Sungai Opak me­liuk-liuk. Menyurat­kan sebuah wilayah subur. Gemah ripah loh jinawi, tamsil orang Jawa.


Di delta makmur inilah berdiri candi masyhur, Prambanan.
Sebuah ba­ngunan ber­aliran Syi­wa yang juga dikenal dengan sebutan Candi La­ra Jonggrang.
Kesatuan dan ke­harmonisan dengan alam seakan jadi mantra yang dipe­gang teguh oleh pa­ra pembangun masa­ itu. Lahirlah kemudi­an motif Pramhanan. Lukisan berupa pa­hatan pada relief candi yang meng­gamharkan pohon kehidupan (kalpataru) yang ditunggui makh­luk kembar berbadan binatang dengan mu­ka manusia, Kinara­-Kinari. 
Ragam khas ini ada di luar kaki candi dan hanya ditemukan di Candi Pram­banan.

Napak tilas ke berbagai can­di di seputar Prambanan tak cuma beroleh petuah soal kehar­monisan. Kita sepertinya juga di­tantang untuk mendahulukan semangat bertole­ransi. 

Bayangkan dalam radius tak lebih dari 6 km ditemukan tujuh kompleks percan­dian dengan alir­an kepercayaan berbeda-beda. Mulai dari sebe­lah barat, Candi Sambisari yang beraliran Syiwa, Kalasan (Bud­dha), Candisari (Buddha), Pram­banan (Hindu), dan Baka (Syiwa).
Perpaduan orientasi keaga­maan di satu wilayah itu meng­gambarkan betapa tinggi keru­kunan hidup beragama kala itu. Suatu kondisi yang kini kian langka, tergerus fanatisme sempit. Kerukunan itu tercipta, barangkali lantaran migrasi keper­cayaan asal India ke Indonesia berlangsung damai. 

Prasasti ter­tua yang merujuk kedatangan kepercayaan Hindu ditemukan berangka tahun 400 M yang menceritakan seorang ra­ja bernama Mulawarman.
Kalimantan dan Su­lawesi memang pijakan bagi perkembangan ke­percayaan Buddha dan Syiwa. Selanjut­nya pengaruh Hindu merasuk ke Su­matra Selatan, Jawa, Bali, dan beberapa pu­lau kecil. Prosesnya kompleks, dan tak merata. Para ahli sering menyebutnya osmosis. Setelah menancap sekitar 400 tahun, pengaruh Buddha dan Syiwa mengalami kejayaan terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada 8 - 10 M. Salah satu ujud peninggalannya be­rupa candi. Beberapa di antara­nya berada di delta Sungai Opak, wilayah subur antara Kota Yogyakarta dan Kecamatan Prambanan.
Candi Sambi­sari salah satu di an­tara­nya. Letaknya ± 5.5
km dari kom­pleks Candi Prambanan ke arah barat. Atau 2,5 km arah utara dari jalan Yogya - Solo sesudah Bandara Adisucipto. Terpendam selama berabad-­abad oleh letusan Gunung Merapi di utaranya, secara kebetulan juli 1966 ditemukan kembali. Ke­tika sedang mengolah sawah, cangkul Karyoinangun, terantuk batu berukir Yang ternyata batu reruntuhan candi.
Ini proses awal lahir­nya kembali sebuah candi.
Setelah penggalian, seleksi dan pengelompokan batu penyu­sun candi oleh Balai Arkeologi Yogya­karta, dilakukan rekonstruksi di ta­hun 1987. Sosok­nya adalah se­buah bangunan seukuran 13,65 m x 13,65 m, tinggi 7,5 m. Salah satu ke­unikannya, berada 6,5 m di ba­wah permukaan tanah sekitar. Tanah di sekeliling candi memang telah diangkat sehingga tampak bentuk utuh candi dengan luas 50 x 48 m.
Para pekerja yang melaku­kan pembersihan rutin berspe­kulasi, kompleks candi barang­kali akan lebih luas jika digali lagi. Tapi, mereka khawatir, ke mana air tanah akan dibuang? Soalnya, penggalian yang lebih dari 6,5 m membuat permukaan candi berada di bawah permukaan sungai di sebelah barat.
Kekhasan lain candi yanq bersifat syiwaistis ini adalah tak adanya kaki candi, seperti la­zimnya struktur candi. Alasnya sekaligus berfungsi sebagai kaki. Dari sisi bangunan Sambisari tersusun atas sebuah candi in­duk dan tiga candi perwara. Pada sisi luar dinding candi induk terdapat relung-relung ber­isi arca-arca. Durga, Ganesha, dan Syiwa Mahaguru. Di dalam ruangan terdapat lingga dan yoni, dua aspek dari Syiwa. Kesatuan keduanya melambang­kan totalitas dan kesuburan.
Kendati apik, pendiri candi ini belum diketahui pasti, namun menilik arsitektur dan batu isi­an diprakirakan didirikan pada abad ke IX M (812 - 838). Kalau prakiraan benar, maka itu masa kekuasaan Raja Rakai Garung yang memerintah pada 828 - 846 dari Dinasti Mataram Hindu.
Melangkah sejengkal ke ti­mur atau kira-kira 2 km. di kanan jalan raya Yogya - Solo, terda­pat Candi Kalasan. Meski tak tampak dari jalan lantaran ter­alang rumah penduduk, candi ini mudah dijangkau. Dengan kendaraan umum, cukup ber­henti di depan pos polisi Kala­san, lalu tinggal menyeberang jalan. Candi Kalasan ada di sisi timur jalan itu. Sementara mobil pribadi bisa langsung parkir di pinggir Jalan dekat lokasi candi. Dari sini pelataran candi sudah terlihat. Pintu masuk ada di timur, maka pengunjung harus berjalan sedikit memutar menyusuri pinggiran pagar kawat berduri.

Berpedoman pada Prasasti Kalasan, candi yang kurang terawat ini didirikan tahun 700 caka (778 M). Prasasti berhuruf Prenagari dan berbahasa Sanse­kerta itu mengungkapkan para guru yang berhasil membujuk Maharaja Tejahpurnapana untuk rnendirikan bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi pendeta.
Arca Dewi Tara sendiri tak ada di tempatnya, melainkan di­simpan di Museum Nasional Ja­karta. Ini upaya terakhir menghin­dari keganasan pencuri yang merajalela. Seorang satpam Candi Kalasan bercerita, pernah mene­mukan sebuah arca di pekarang­an penduduk tak jauh dari can­di. Arca itu digeletakkan begitu saja saking beratnya. Para pen­curi agaknya cuma bermotif ekonomi, memuaskan nafsu dahaga para kolektor benda-­benda antik.
Aktivitas pencuri dan sebab-­sebab lain membuat bangunan Candi Kalasan tampak paling tidak lengkap dibandingkan de­ngan candi-candi lain di seki­tarnya. Banyak stupa dan beba­tuan hilang. Di antaranya stupa di sekeliling candi yang berjum­lah 52 buah. Padahal di dalam­nya dijumpai barang-barang berharga seperti peti batu dan periuk. ­Di dalam periuk perunggu dan tanah liat ditemukan cermin, pakaian, manik-manik, lempengan emas, jarum, rantai, dan pisau. Cermin dan pisau adalah lambang kekekalan bagi mereka yang sudah meninggal. Keistime­waan lain yang lenyap adalah lapisan penutup candi, bajrale­pa. Begitupun, sosok candi tetap gagah bila dilihat dari bawah. Kaki candi berdiri di atas alas bujur sangkar dengan sisi 45 m dan sebuah batur lebar. Di tengah tiap sisi ada tangga, tepat di muka tangga sisi timur ada batu langka setengah ling­karan. Di sisi tangga pada ujung lengan tangga terdapat makara, binatang mitologis berbentuk mengerikan.
Denah tubuh candi berben­tuk bujur sangkar dengan beberapa bilik. Bilik di timur jadi pintu gerbang candi. Namun, bilik ini tak utuh lagi. Yang ma­sih utuh bilik sebelah utara dan selatan.
Sementara batas antara atap dan tubuh candi ditandai hias­an gana (semacam makhluk kerdil dari kahyangan). Bagian atap berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Pada ma­sing-masing sisi di tingkat per­tama terdapat arca Buddha, me­lukiskan para Manusia Buddha.
Tampaknya masa itu kawa­san Kalasan menjadi pusat pe­nyebaran agama Buddha. Bukti­nya, di dekat Candi Kalasan terdapat candi yang sealiran, yakni Candisari. Candi ini bisa dicapai dari jalan Yogya - Solo. Seratus me­ter dari sini pada ujung jalan berdiri bangunan yang dulu­nya dipercaya sebagai asrama biara Buddha. Inilah Candisari. Sari berarti indah atau cantik, sesuai bentuknya yang ramping.
Berlokasi di Desa Bendan, Kelurahan Tirtomartani, Kalasan, Candisari ditemukan dalam ke­adaan rusak berat. Candi beru­kuran 17,30 x 17 x 10 m ini diprakirakan berdiri pada abad VIII M. Pintu masuk berupa tang­ga tepat di tengah pada sisi panjang. Pintu ini dihiasi Kala dan di bagian bawah ada pa­hatan orang menunggang ga­jah. Ruangan di dalam candi terbagi dalam tiga kamar berja­jar yang masing-masing dihubungkan dengan pintu. Bilik itu berukuran 3 x 5,8 m dan terba­gi atas bilik atas dan bawah.
Untuk ke ruang atas diper­gunakan tangga kayu. Sayang, semua sisa kayu telah rusak. Tapi lubang di dinding meng­isyaratkan tempat untuk mena­ruh ujung balok. Sedang di din­ding utara ada beberapa batu dipahat serong, tanda tempat sandaran tangga.
Masing-masing sisi candi ter­dapat patung Dewa Bodhisatwa dan Tara berjumlah 36 buah.
Melihat bentuk bangunan dengan beberapa kamar, jendela berjeruji kayu, serta lu­bang jendela, diperkirakan tem­pat ini dulu dipakai sebagai tempat tinggal wihara, atau asrama para pendeta.
Bisa dibayangkan suasana waktu itu. Para pendeta Buddha mengajar dalam suasana penuh persaudaraan berdampingan dengan penganut agama Hindu atau Syiwa. Semangat toleran itu agaknya sengaja mereka pi­lih lantaran adanya Candi Pram­banan yang beraliran Hindu berdiri tak jauh dari situ.

Kompleks Candi Prambanan memang beraliran Hindu dan dikenal paling megah. Kom­pleks ini didominasi oleh Can­di Syiwa yang didirikan antara pertengahan abad IX - X M. Pendirinya, Dinasti Shaiva yang diturunkan oleh Raja Sanjaya (732 – 760). Beredar spekulasi kompleks ini dibangun di masa pemerintahan Daksa (910 - 919). Dalam satu prasasti yang tidak jelas asal-usulnya dipaparkan, candi didirikan tahun 856 untuk menghormati Lara Jonggrang, putri Raja Ratu Baka. Lara Jong­grang dianggap legenda terja­dinya Candi Prambanan.
Alkisah, seseorang yang ti­dak dikehendaki ingin meminang putri cantik jelita itu.
Sebagai syarat sang putri min­ta peminang membangun can­di dalam semalam. Agar tugas tak selesai, sang putri memerintahkan para jin memukul pe­numbuk padi, tanda fajar telah tiba. Lantaran kecewa, peminang mengutuk Lara Jonggrang. Sang putri pun menjelma jadi batu. Batu itu gambaran Durga. Ia berujud wanita bertangan dela­pan yang memegang beraneka ragam senjata dan berdiri di atas banteng Nandi dalam sikap tribangga. Durga adalah dewi kematian, itulah sebabnya ia menghadap ke arah utara, ma­ta angin kematian.
Arca Lara Jonggrang bisa ditemui di Candi Syiwa, candi terbesar dan terpenting di kom­pleks Prambanan. 


Dinamakan Candi Syiwa karena di dalam­nya terdapat arca Syiwa Ma­hadewa. Di candi ini dicerita­kan kisah Ramayana dalam bentuk relief. Cerita itu dilan­jutkan di Candi Brahma.
Bila dirinci kompleks per­candian Prambanan terdiri atas latar bawah, tengah, dan pusat, yang makin ke dalam makin tinggi letaknya. Latar bawah tak berisi apa pun. Di latar tengah terdapat reruntuhan candi-candi perwara. Bila seluruhnya sele­sai dipugar, akan ada 224 candi berukuran sama. Latar pusat adalah latar terpenting tempat berdiri 16 candi besar-kecil.
Candi-candi utama terdiri atas dua deret saling berhadap­an. Deret pertama yaitu Candi Syiwa, Wisnu, dan Brahma. De­ret kedua adalah Candi Nandi, Angsa, dan Garuda. Pada ujung­-ujung lorong yang memisahkan dua deretan candi terdapat Candi Apit. Secara keseluruhan percandian ini terdiri atas 240 buah candi.
Kompleks Prambanan seka­rang merupakan hasil renovasi tiada henti sejak ditemukan pertama kali oleh C.A. Lons tahun 1733. Kini seluruh area candi te­lah dibebaskan dari permukiman penduduk. Taman wisata buda­ya ini dilindungi oleh hukum in­ternasional. Sebagai sarana pen­dukung juga dibangun teater terbuka, teater tertutup, museum arkeologi, lahan parkir, warung makan, dan kios cenderamata.
Sebelum berkeliling ada baiknya mampir ke ruang au­dio visual di Museum Prambanan.